Senin, 08 Februari 2021

Sentimentalisme dalam Sejarah Sastra Amerika

Wawan Eko Yulianto *
berbagi-mimpi.info 16 Jan 2009
 
Jadi, pernah juga ternyata terjadi tren-trenan dalam dunia sastra Amerika. Kejadiannya adalah pada tahun 1850-an. Apa yang nge-trend? Yang ngetrend waktu itu adalah: SASTRA SENTIMENTALIS!!!
 
Jadi, pada masa itu, kira-kira mulai tahun 1848, mulai muncul cerpen-cerpen di majalah yang ditulis oleh para penulis perempuan. Ceritanya sendiri tentang hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan domestik dan percintaan. Bahasanya melambai-lambai, berlebih-lebihan dalam mendeskripsikan, dan lebih banyak menyasar emosi ketimbang memicu pemikiran. Well, singkatnya begitulah.
 
Sebelum menginjak masa sentimentalisme ini, sebenarnya Amerika baru saja kebanjiran dan kegandrungan karya-karyanya pak Charles Dickens dari Inggris itu. Selain itu, ada juga karya yang disebut-sebut menginspirasi banyak penulis sentimentalis ini, yaitu Jane Eyre karya Charlotte Bronte (1847). Tapi, tetap menurut banyak sumber, karya-karya mereka adalah semacam ekses dari karya-karya Bronte dan Dickens itu… jadi ya… yang namanya ekses kan nggak baik (jadi ingat bang Rhoma, “mengapa semua yang enak-enak… itu diharamkan… mengapa semua yang enak-enak, merusak pikiraaaaaan, ah ah ah aha ha ha ha ha haaaaa… itulah perangkap setan!!!” atau ingat Spice Girls, “too much of something is bad enough”).
 
Salah satu karya paling awal dari masa Sentimentalisme ini adalah Uncle Tom”s Cabin (1852) karya Harriet Beecher Stowe yang akhirnya meledak gila-gilaan. Nah, dari situlah akhirnya banyak penulis perempuan yang mulai pingin menuliskan kisah-kisah mereka. Dan benar juga, banyak sekali penulis perempuan yang akhirnya menjadi best seller di masa itu. Ada satu nama lagi yang patut disebut di sini: Fanny Fern (nama yang lucu bukan? hehehe… ya iya lah, kan “fern” itu artinya pakis, heheheh… tapi memang sih itu nama pena, aslinya Sarah Payson Willis Parton) yang salah satu karya paling populernya berjudul Fern Leaves from Fanny”s Portfolio. Oh ya, lagi-lagi ini patut dicatat, Sarah Payson Willis Parton (aduh… panjang banget namanya, selanjutnya saya pake nama penanya saja ya) ini adalah kolumnis perempuan pertama di Amerika, dan pada masanya itu dia pernah menjadi kolumnis dengan nilai kontrak termahal… kayak pemain bola, hehehe…
 
Pada masa ini, terjadi banyak sekali fenomena best seller yang mengejutkan… ibaratnya, buku-buku mereka laku bagai… hmm… bagai… nonton bareng di musim world cup (halah!). Saya malas menyebutkan angka penjualannya, sangat memilukan kalau mengingat trend buku di Indonesia).
 
Yang jelas, dengan karya-karya mellow nan sentimentil, mungkin sepadang dengan televonela/sinetron lah modelnya (kemarin di kelas kami di suruh pak guru cari majalah2 dari tahun 1850-an (gila bo! di sini majalah2 tahun itu masih terawat dan bisa diakses, dan bahkan boleh dipinjam dibawa pulang oleh teman-teman) dan masing-masing ditugasi baca satu cerpen dan menceritakan isinya di kelas dan menyoroti sisi-sisi sentimentalisme dari cerpen-cerpen itu, para begawan sastra Amerika masa itu jadi kebakaran jenggot. Berikut saya kutipkan langsung beberapa belas kalimat dari buku “The Development of American Short Story: A Historical Survey” karya Fred L. Pattee …
 
That Hawthorne was conscious of the new feminine invasion we have decisive evidence. In a letter to Ticknor, January, 1855, he expressed himself with no uncertain words:
 
America is now wholly given over to a d—d mob of scribbling women. I should have no chance of success while the public taste is occupied with their trash–and should be ashamed of myself if I did succeed. What is the mystery of these innumerable editions of The Lamplighter and other books neither better nor worse?–worse they could not be and better they need not be, when they sell by the hundred thousand.
 
And again, a month later (pak Hawthorne nulis lagi),
 
Generally women write like emasculated men and are only to be distinguished from male authors by greater feebleness and folly; but when they throw off the restraints of decency, and come before the public stark naked, as it were–then their books are sure to possess character and value. (149)
 
Sebegitu dahsyatnya ledakan karya-karya sentimentalis itu. Semua orang dibikin galau.
 
Tapi, ternyata tidak semua orang memandang miring karya-karya sentimental itu. Kalangan pengamat modern, yang sudah diketahui punya kecenderungan suka membaca lebih banyak dari berbagai kacamata telaah yang peka terhadap berbagai elemen dalam sebuah karya (sebenarnya saya cuman pingin ngomong “menggunakan berbagai teori sosial untuk menyingkap isi karya sastra dan sangat suka dengan elemen-elemen ekstrinsik karya sastra ketimbang elemen2 instriksiknya saja”), memandang bahwa karya-karya ini memiliki banyak sisi positif. Well, untuk gampangnya saya persilakan baca artikel web ini. Di situ, Anda bisa melihat bagaimana sebenarnya karya-karya itu “berani” menunjukkan hal-hal yang sebenarnya tidak banyak dibahas para intelektual amerika masa itu. Well, yang dimaksud intelektual Amrik masa itu kan orang-orang “kulit putih, laki-laki”, jadi ya… pandangannya bisa dibilang sangat tidak ramah jender. Lihat saja bagaimana Pak Hawthorne menyebut para penulis itu sebagai “scribbling women” atawa para perempuan yang suka corat-coret saking cepatnya mereka “memproduksi” novel-novel mereka. Atau lihat juga di halaman 149 dalam bukunya Pattee itu, ketika Pattee mengutip dari North American Review masa itu: “A female author puts much of her individuality into her work–being more prone to express emotion than ideas.”
 
Oh ya, dalam artikel ini tadi, disebutkan bahwa banyak sekali fenomena yang sekarang ini jadi bahan garapannya kaum feminis atau para pendukung cultural studies secara umum, semisal women”s rights dll. Memang, pembahasan yang seperti itu pada masanya dianggap vulgar, tapi para penulis tersebut bisa mengungkapkannya karena mereka hanya berpegang pada “apa yang mereka rasa benar” bukan “apa yang dianggap benar oleh budaya mereka yang merupakan “male-dominated culture”. Makanya, jangan heran kalau ketika orang-orang menganggap perbudakan sebagai hal yang wajar, Ny. Stowe dalam Uncle Tom”s Cabin berani mengatakan bahwa perbudakan itu tidak wajar dan karenanya harus dihapuskan (btw, pasti Anda sekalian sudah bosan mendengar bahwa novel Uncle Tom”s Cabin itu adalah pemicu perang saudara di Amerika … well, biasanya guru-guru sastra akan menyimpulkan dengan sesederhana itu, hehehe…).
 
Yah, begitulah kenyataannya, para kritikus dewasa ini menganggap, kalau soal kesastraan, kebagusan bahasa, karya-karya sentimental ini sangat lemah (bukan dalam artian bahasanya jelek lho ya, tapi bahasanya tidak pada tempatnya: misalnya selalu berindah-indah tanpa peduli suasana, bahkan katanya dalam karya-karya itu nggak ada yang namanya “turun salju” tapi yang ada adalah “alam membungkus diri dalam selimut putihnya nan tebal” atau nggak ada “matahari terbit” tapi yang ada adalah “aurora menyepuh langit dengan warna tembaganya” semacam itu lah hehehehe), tapi dalam hal konten, karya-karya mereka layak mendapatkan pembacaan yang sepantasnya…
 
Hokeh… begitu saja sementara ini, semoga nanti bisa lebih luas cakupannya. hehehehe…
 
Nah, sekarang, pertanyaannya, apakah Anda pernah menemukan tren semacam ini di jagad sastra negara kita tercinta indonesia raya ini?
***

*) Wawan Eko Yulianto, lulusan sastra Inggris dari Universitas Negeri Malang, telah menulis sejumlah cerita pendek, resensi, menerjemahkan tiga novel James Joyce, dan sejumlah novel lain. Bekerja sebagai penulis lepas untuk beberapa penerbit: GPU, Jalasutra, Ufuk Press dan Banana Publisher. Aktif di Bengkel ImaJINASI dan OPUS 275.  http://sastra-indonesia.com/2011/10/sentimentalisme-dalam-sejarah-sastra-amerika/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

A Anzieb A. Khoirul Anam A. Muhaimin Iskandar A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Rodhi Murtadho A.H. J Khuzaini A.S Laksana Aa Sudirman Abdul Kirno Tanda Abdurrahman Wahid Acep Iwan Saidi Achiar M Permana Addi Mawahibun Idhom Adhi Pandoyo Adi W. Gunawan Afrion Afriza Hanifa Afrizal Malna Agama Para Bajingan Aguk Irawan MN Agung Poku Agus Buchori Agus Mulyadi Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Setiawan Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wahyudi Agusri Junaidi AH J Khuzaini Ahmad Baso Ahmad Dahri Ahmad Farid Yahya Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Munjin Ahmad Naufel Ahmad Rifa’i Rif’an Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadul Faqih Mahfudz Ahmadun Yosi Herfanda Akhlis Purnomo Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akhudiat Albert Camus Alfathri Adlin Alfian Dippahatang Ali Audah Alim Bakhtiar Alimuddin Amelia Rachman Amie Williams Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin An. Ismanto Andhi Setyo Wibowo Andik Suprihartono Andri Awan Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Antologi Sastra Lamongan Anton Wahyudi Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia Arafat Nur Ari Welianto Arief Rachman Hakim Arif Hidayat Arif Saifudin Yudistira Arman A.Z. Arsyad Indradi Arti Bumi Intaran Asarpin Asep Dudinov Ar Atafras Awalludin GD Mualif Ayu Nuzul Bahrum Rangkuti Beni Setia Benni Setiawan Benny Benke Berita Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bonardo Maulana Wahono Bre Redana Budi Darma Budiman Hakim Buku Bung Hatta Bustan Basir Maras Butet Kertaredjasa Candrakirana Capres Cawapres 2019 Catatan Cerpen Chairil Anwar CNN Indonesia Coronavirus COVID-19 Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahlan Iskan Dahlan Kong Damiri Mahmud Danarto Daniel Dhakidae Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewi Satika Dian R. Basuki Dian Sukarno Dian Tri Lestari Dien Makmur Din Saja Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Diponegoro Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Doddy Hidayatullah Dodit Setiawan Santoso Dody Yan Masfa Donny Anggoro Donny Darmawan Doris Lessing Dr. Hilma Rosyida Ahmad Dwi Pranoto Dyah Ayu Fitriana Edisi Khusus Edy A Effendi Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendri Saiful Eko Prasetyo Eko Tunas Ekwan Wiratno el-Ha Abdillah Enny Arrow Erdogan Esai Esthi Maharani Estiana Arifin Evi Melyati F. Budi Hardiman F. Rahardi Fahmi Faqih Fahri Salam Faisal Kamandobat Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Feby Indirani Felix K. Nesi Festival Gugur Gunung Forum Santri Nasional Frischa Aswarini Fuad Mardhatillah UY Tiba Fuad Nawawi Galeri Sonobudoyo Galuh Tulus Utama Gampang Prawoto Geger Riyanto Geguritan Goenawan Mohammad Gola Gong Grathia Pitaloka Gugun el-Guyanie Gus Ahmad Syauqi Gus Dur Gusti Eka Habib Syech bin Abdul Qodir Assegaf Halim HD Hamdy Salad Hamid Jabbar Hamka Hamzah al-Fansuri Hari Puisi Indonesia (HPI) Harris Maulana Hasan Basri Hasnan Bachtiar Herry Fitriadi Herta Muller Heru Kurniawan Hesti Sartika Hilmi Abedillah Hudan Hidayat IAI TABAH Ibnu Wahyudi Idrus Efendi Ignas Kleden Iis Narahmalia Imam Jazuli Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Inung As Irfan Afifi Irwan Kelana Isbedy Stiawan Z.S. Iwan Simatupang Jafar Fakhrurozi Jajang R Kawentar Jalaluddin Rakhmat Jawa dan Islam JJ. Kusni Jo Batara Surya Joni Ariadinata Jordaidan Rizsyah Jual Buku Paket Hemat Jurnalisme Sastra K.H. Ma'ruf Amin Kadek Suartaya Kadjie MM Kalis Mardiasih Kanti W. Janis Karang Taruna Kedungrejo Katrin Bandel Kedai Kopi Sastra Kedung Darma Romansha Kedungrejo Muncar Banyuwangi Kemah Budaya Panturan (KBP) Kembulan KetemuBuku Jombang KH. M. Najib Muhammad KH. Muhammad Amin (1910-1949) Khairul Mufid Jr Khawas Auskarni Ki Ompong Sudarsono Kitab Arbain Nawawi Kitab Kelamin Kompas TV Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Buana Kasih Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Perupa Lamongan (KOSPELA) Komunitas Sastra dan Teater Lamongan Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Komunitas Selapan Sastra Kopi Bubuk Mbok Djum Kostela KPRI IKMAL Lamongan Kritik Sastra Kumpulan Cerita Buntak Kuswaidi Syafi’ie L Ridwan Muljosudarmo L.K. Ara Lagu Laksmi Shitaresmi Lan Fang Launching Buku Launching dan Bedah Buku Lawi Ibung Linda S Priyatna Literasi Liza Wahyuninto Lona Olavia Lukisan Lukman Santoso Az M. Faizi M. Lutfi M. Raudah Jambak M.D. Atmaja Maduretna Menali Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maimun Zubair Maiyah Banyuwangi Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Manneke Budiman Maratushsholihah Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Mariana Sitohang Mario Vargas Llosa Marsel Robot Mas Garendi Mashuri Massayu Masuki M. Astro Max Arifin Media Seputar Indonesia Mei Anjar Wintolo Melukis Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggalang Dana Amal MG. Sungatno Mianto Nugroho Agung Mien Uno Miftachur Rozak Mihar Harahap Mochtar Lubis Moh. Husen Moh. Jauhar al-Hakimi Moh. Syafari Firdaus Mohamad Sobary Mohammad Rokib Mohammad Wildan Motinggo Busye Muafiqul Khalid MD Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Alfatih Suryadilaga Muhammad Alimudin Muhammad Anta Kusuma Muhammad Marzuki Muhammad Muhibbuddin Muhammad N. Hassan Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammad Yunus Muhidin M. Dahlan Mukhsin Amar Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Munawir Aziz Mutia Sukma N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Ndix Endik Nenden Lilis A Nezar Patria Ni Made Purnama Sari Ninin Damayanti NKRI Nur Taufik Nurel Javissyarqi Nurul Komariyah Obrolan Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Orhan Pamuk Pagelaran Musim Tandur Palestina Palupi Panca Astuti Pameran Lukisan Parimono V / 40 Plandi Jombang Pawon Seni PDS H.B. Jassin Pekan Literasi Lamongan Pelukis Tarmuzie Pendhapa Art Space Pendidikan Penerbit Pelangi Sastra Pengajian Pipiet Senja Politik Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang Pramoedya Ananta Toer Presiden Jokowi Proses Kreatif Puisi Puisi Menolak Korupsi (PMK) Pungkit Wijaya Pusat Studi Budaya Banyuwangi (PSBB) Pustaka LaBRAK Putu Fajar Arcana R Giryadi R. Ng. Ronggowarsito Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rakai Lukman Rakhmat Nur Hakim Rani R. Moediarta Raudal Tanjung Banua Raudlotul Immaroh Reiny Dwinanda Remy Syaldo Remy Sylado Rendy Adrikni Sadikin Resensi Reuni dan Halal Bihalal Mts Putra-Putri Simo 1991-1992 Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Antoni Riki Dhamparan Putra Rimbun Natamarga Rinto Andriono Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Romel Masykuri Nur Arifin Ronny Agustinus Rosi Rosihan Anwar Rosmawaty Harahap Roy Kusuma Rumah Budaya Pantura (RBP) Rx King Motor S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sainul Hermawan Sajak Salman Faris Sandiaga Uno Sanggar Lukis Alam Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang Sanusi Pane Sapardi Djoko Damono Saripuddin Lubis Sasti Gotama Saut Situmorang Saya Sayyid Muhammad Hadi Assegaf Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSAstra Boenga Ketjil Seni Gumira Ajidarma Seni Rupa Seno Joko Suyono Setia Budhi Shiny.ane el’poesya Shofa As-Syadzili Sholihul Huda Shulhan Hadi Sihar Ramses Simatupang Siti Aisyatul Adawiyah Siwi Dwi Saputro Soediro Satoto Soeparno S. Adhy Soesilo Toer Soetanto Soepiadhy Sofyan RH. Zaid Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad STKIP PGRI Ponorogo Subagio Sastrowardoyo Suminto A. Sayuti Sunardian Wirodono Sunlie Thomas Alexander Sunoto Sunu Wasono Sunudyantoro Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syahrudin Attar Syaifuddin Gani Syaikh Prof. Dr. dr. Yusri Abdul Jabbar al-Hasani Asyadzili Syaikh Yusri al-Hasani Al Azhari Taman Ismail Marzuki Taufiq Wr. Hidayat Teater Ilat Teguh Afandi Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Tere Liye Toko Buku PUstaka puJAngga Lamongan Tri Wahono TS Pinang Tsani Fanie Tulus S Udo Z. Karzi Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Jember Untung Wahyudi Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Virdika Rizky Utama W.S. Rendra Wage Daksinarga Wahyu Aji Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Widie Nurmahmudy Yanuar Widodo Yanusa Nugroho Yerusalem Yetti A. KA Yohanes Padmo Adi Nugroho Yohanes Sehandi Yoks Kalachakra Yonathan Rahardjo Yuditeha Yusri Fajar Yuval Noah Harari Zainal Arifin Thoha Zehan Zareez Zuhdi Swt Zulfikar Akbar