Selasa, 27 Juli 2021

Cinta di Ujung Senja

Irwan Kelana *
Republika, 1 Apr 2012
 
SEJAK awal aku sebetulnya tidak mau datang ke acara reuni ini. Apalagi ketika Muhsin, kawan karibku sewaktu di aliyah dulu, mengatakan bahwa Dini akan datang.
 
Tapi, Bu Yetty, guru yang paling mengerti tentang diriku, dan kepadanya aku dan Dini sering curhat, memaksaku. “Ilham, datang ya. Ibu kangen sama kamu. Sudah lima belas tahun nggak ketemu,” ucapnya di telepon minggu lalu.
 
“Datang ya, Il, ada kejutan buat kamu, lho,” Inu sang ketua panitia reuni membujukku lewat SMS.
 
Sejujurnya, aku juga kangen bertemu teman-teman dan guru-guru. Lima belas tahun bukan waktu yang singkat. Mungkin mereka semua sudah menikah dan punya anak. Boleh jadi juga sudah banyak yang perutnya gendut.
 
Namun, aku merasa tidak siap untuk bertemu Dini. Aku tak mau hatiku terluka kembali mana kala melihat sosoknya. Ya, Dini adalah gadis pujaanku saat di aliyah dulu. Gadis Jawa itu begitu lembut dan anggun dengan bulu mata lentik dan sorot mata teduh yang selalu mampu menenangkan hatiku. Kerudung putih membuat wajahnya bertambah cantik. Posturnya semampai dalam balutan baju panjang dan rok panjang abu-abu.
 
Kami sering shalat dhuha dan membaca Alquran bersama di mushala sekolah. Tiap ada acara pengajian, aku dan dia selalu duduk di baris paling depan. Kami pernah merajut cita-cita untuk membina keluarga yang saleh. Aku akan memanggilnya “Ummi” dan ia memanggilku “Abi”. Dan, rumah kami setiap hari akan diramaikan oleh tingkah polah anak-anak yang ceria.
 
Lulus aliyah, aku berhasil mendapatkan beasiswa ke Universitas al-Azhar, Kairo, Mesir, sedangkan Dini melanjutkan kuliah ke UIN Jakarta. Kami berjanji akan tetap menjaga cita-cita tersebut dan akan mewujudkannya sepulangnya aku dari Mesir.
 
Namun, baru dua tahun aku menuntut ilmu di Negeri Seribu Menara itu, cita-cita tersebut kandas. Ayah Dini sakit keras, dan permintaannya sebelum dia meninggal adalah dia ingin agar Dini menikah. Mereka menelepon aku. Tapi, tak mungkin aku pulang mendadak dan menikah dengannya. Akhirnya, Dini dinikahkan dengan seorang laki-laki yang katanya masih ada hubungan kerabat jauh.
 
Luka hatiku sangat perih. Rasanya tak percaya bahwa cinta bisa semudah itu diretas. Untuk melupakan Dini, aku memfokuskan perhatian hanya pada pelajaran. Aku berhasil lulus S-1 dengan predikat mumtaz (cum laude). Ketika ditawari beasiswa S-2, langsung saja aku ambil.
 
Hampir lima tahun, aku berhasil menggondol gelar MA, juga dengan yudisium mumtaz.
 
Aku belum berniat pulang meskipun orang tuaku berkali-kali mengirim surat minta agar aku kembali ke Tanah Air dulu, setelah itu boleh balik lagi ke Mesir. Aku mengambil beasiswa program S-3 dan menyelesaikan kuliah doktoral selama empat tahun.
 
Mungkin bisa dibilang patah arang, aku sudah membulatkan tekad tidak akan kembali ke Tanah Air. Namun, suatu hari, tepatnya dua tahun silam aku bertemu menteri agama dalam sebuah seminar keislaman internasional di Kairo, di mana aku turut menjadi panitia. Menteri mengajak aku kembali ke Tanah Air karena katanya keahlianku di bidang tafsir sangat diperlukan.
***
 
“Ilham, thanks lho udah mau datang,” sapaan Inu mengagetkanku.
 
“Hei, Ilham. Mana nyonya?” tanya Edy, kawan kami yang paling bandel. Aku menggeleng.
 
“Sekian tahun kau di Mesir. Masa sih gak ada satu pun cewek yang bisa kau gaet? Kalau tidak dapat gadis Mesir, gadis Indonesia pun tak apalah,” Pandu si playboy menimpali.
 
“Begitulah kenyataannya.”
 
“Ssst! Nyonyanya sebentar lagi datang lho,” kata Inu.
 
“Maksudmu?” tanya Edy dan Pandu bersamaan.
 
“Ada deh. Tunggu aja,” sahut Inu sambil tersenyum.
 
Satu per satu rekan-rekan seangkatanku tiba di tempat acara, sebuah restoran kebun yang terletak di Jalan Margonda Raya, Depok. Beberapa orang guru juga datang, termasuk Bu Yetty.
 
“Eh, Ilham, ibu kangen banget sama kamu.”
 
“Saya juga kangen sama Ibu,” aku mencium tangannya.
 
“Ada seseorang yang sangat merindukanmu. Sebentar lagi juga dia sampai di sini.”
 
“Siapa, Bu?” tanyaku walaupun aku sudah bisa meraba ke mana arah pembicaraan Bu Yetty.
 
“Dini.”
 
“Dini?” Masih juga aku terkejut, meski aku menebak nama itulah yang akan diucapkan oleh Bu Yetty.
 
“Iya, Dini. Dia sudah menjanda, lho. Lima tahun lalu. Suaminya meninggal karena kecelakaan pesawat. Mereka tak punya anak. Dini janji sama Ibu, dia akan datang ke acara reuni ini.”
 
Hatiku tiba-tiba seperti bunga mati yang mekar kembali. Dini! Ah, calon ibu anakanakku itu, masihkah dia seperti dulu: selalu senyum dikulum dan suaranya selalu mampu menenangkan kegundahan hatiku.
 
Sudah hampir pukul 12.00 siang, namun Dini belum juga tiba.
 
“Tenang, Il, sebentar lagi juga dia datang. Dia langsung dari bandara. Ada acara di Bali,” Inu seperti mengerti kegalauan hatiku.
 
Ketika sebuah SMS masuk ke HP-nya, Inu segera menyodorkannya kepadaku, “In, aku udah di taksi. Kira-kira satu jam lagi nyampe di tempat acara. Dini.”
 
Namun, hingga pukul satu, Dini belum juga sampai. Ditunggu hingga pukul dua siang, juga tidak ada kabar berita.
 
Pukul tiga sore HP Inu berbunyi. Setelah berbicara sejenak, wajahnya langsung pucat pasi.
 
“Ada apa, Inu?” tanyaku dan beberapa kawan serempak.
 
“Dini tabrakan… sekarang di UGD… tadi petugas mendapatkan nomorku dari HP-nya Dini,” suara Inu terbata-bata.
***
 
Sepanjang malam aku menunggui Dini. Berharap ada keajaiban. Kepala Dini diperban dan di tangannya terselip selang infus. Ia mengalami pendarahan yang sangat parah. “Ya Allah, jangan Engkau biarkan aku kehilangan Dini untuk kedua kali,” bisikku dalam hati.
 
Pukul dua dini hari, ibu dan adik Dini, Dinda, tertidur sambil duduk di bangku. Aku berwudhu, lalu shalat hajat dan tahajud.
 
Aku teringat kisah tiga pemuda Kahfi saat mereka terkurung dalam gua. Masing-masing berdoa menyebut kebaikan mereka. Dan, tiap kali satu orang menyebutkan kebaikan yang pernah dilakukannya, batu penutup gua bergeser sedikit. Sampai akhirnya, pintu gua itu terbuka dan mereka dapat keluar dari dalam gua.
 
“Ya Allah, aku pernah memberikan seluruh tabunganku kepada seorang sahabatku yang akan menikah di Mesir dulu. Jika hal tersebut merupakan amal saleh yang Engkau terima, tolong selamatkan dan sembuhkan Dini,” ucapku perlahan.
 
Azan Subuh terdengar dari masjid di luar sana. Tiba-tiba aku mendengar suara rintihan Dini. Lalu perlahan matanya sedikit terbuka. Ah, mata sendu itu! Mata yang selalu membuatku rindu menatapnya.
 
“Din,” aku berbisik di telinganya. Tanganku menggengam jemari tangan kirinya.
 
“Ilham,” suaranya terdengar parau.
 
“Ya, Din. Ini aku. Kamu akan sembuh dan kita akan mewujudkan mimpi kita. Membina keluarga bahagia, dengan 10 anak yang semuanya jadi penghafal Alquran.”
 
Bibirnya berusaha mengukir senyum, namun ia menggeleng lemah.
 
“Aku ingin shalat,” tuturnya lirih.
 
Aku segera membangunkan ibunya. Ia membantu Dini tayamum.
 
Matanya menatapku lembut seperti memberi isyarat. “Kamu mau shalat berjamaah, Din?” bisikku di telinganya.
 
Ia mengangguk dengan ekor matanya.
 
Aku segera berwudhu kembali, kemudian menjadi imam shalat. “Ya Tuhan, betapa lama aku merindukan hal ini: menjadi imam shalat bagi Dini dan kelak juga anak-anak kami.”
 
Selesai shalat, aku segera berdiri. Saat kupandang wajah Dini, matanya terpejam. Ia pingsan kembali.
 
Aku segera memanggil suster. Ia datang tergopoh-gopoh, lalu memeriksa keadaan Dini. Tiba-tiba, ia tampak tegang dan segera menelepon dokter. Dokter segera datang dan memeriksa detak jantung Dini.
 
“Bagaimana keadaannya, Dok?” tanyaku tak sabar.
 
“Mari sama-sama kita berdoa, semoga Tuhan memberikan pertolongan kepadanya.”
 
“Maksud Dokter?”
 
“Terus terang, kondisinya memburuk, tapi kami akan berusaha semampu kami. Yang penting, teruslah berdoa mohon yang terbaik untuknya.”
 
Hatiku tercekat. Seperti ada feeling bahwa Dini akan pergi untuk selamanya.
 
Ternyata benar. Dini tak pernah sadarkan diri lagi. Kira-kira pukul delapan pagi ia mengembuskan napasnya yang terakhir.
 
Ia pergi tanpa sempat mengucapkan salam perpisahan. Kubelai rambut hitamnya dan kukecup keningnya. Wanita yang tak pernah kusentuh selama hidupnya.
***
 
Upacara pemakaman Dini dihadiri oleh para guru dan teman yang kemarin datang di acara reuni. Sebelumnya, aku diminta oleh pihak keluarga untuk menjadi imam shalat jenazah.
 
“Allahummaghfirlaha warhamha wa’afihaa wa’fu anha…,” doaku begitu khusyuk.
 
Aku turun ke liang lahat dan mendekap jenazah Dini saat dimasukkan ke dalam kubur. Seusai penguburan, aku menanam dua batang kemboja di dua ujung makam itu.
 
“Il, kemarin waktu di taksi, Dini sempat telepon aku. Katanya, dia cinta Ilham dan mau datang ke acara reuni karena berharap dapat mengobati luka hati Ilham,” bisik Inu lirih.
 
Aku menggigit bibir, menahan agar tak ada air mata yang jatuh.
 
Menjelang pukul lima, acara pemakaman usai. Satu per satu pengantar jenazah meninggalkan pemakaman umum itu. Namun, aku masih duduk termangu di depan makam yang masih merah itu.
 
“Il, aku duluan ya,” kata Muhsin.
 
“Saya juga duluan ya, Il,” kata Inu.
 
Aku cuma mengangguk.
 
Tinggal aku berdua dengan ibu Dini.
 
“Maafkan ibu dan almarhum Bapak ya, Nak Ilham,” kata ibu Dini perlahan.
 
Aku meraih tangannya. “Tidak ada yang perlu dimaafkan, Bu. Jodoh, rezeki, maut, semua Allah yang punya. Kita hanya menjalani takdir yang telah Allah gariskan buat kita masing-masing ketika kita masih di dalam kandungan ibu kita, bahkan semuanya sudah tertulis di Lauhul Mahfuz.”
 
Air matanya tiba-tiba kembali menderas. Ia memelukku.
 
“Ikhlaskan Dini, Nak Ilham…,” bisiknya parau.
 
“Ya, Bu,” sahutku dengan suara bergetar.
 
Aku memegang bahunya. “Sebaiknya Ibu pulang duluan. Nanti saya menyusul.”
 
Ia mengangguk, lalu berlalu menghampiri Dinda, yang telah menunggu di gerbang makam.
 
Aku kembali bersimpuh di depan makam Dini. Aku membacakan surah al-Fatihah, al-Ikhlas, al-Falaq, An-Nas, ayat kursi, dan zikir serta doa untuk Dini. Seakan-akan ia mengaminkan doaku.
 
Aku terus berdoa dan berzikir sampai senja datang dan azan Maghrib terdengar. Kupandang makam itu seraya berbisik, “Din, aku shalat Maghrib dulu, ya.”
 
Seusai shalat di mushala terdekat, aku kembali menyambangi makam Dini. Kembali kukirimkan doa-doa terbaik untuknya.
 
Senja sudah sampai di ujungnya. Sekali lagi kutatap makam yang masih segar itu, di antara temaram bayang-bayang malam yang kian muram. Di dalamnya terbaring wanita yang kucintai, namun tak pernah bisa kumiliki.
 
“Din, beristrahatlah dengan damai, semoga Allah selalu menyayangimu di alam sana,” bisikku dengan suara tercekat.
 
Berat kakiku melangkah. Aku merasa separuh jiwaku ikut terkubur bersama jasad Dini. Sunyi membalut hatiku dan dukaku kian membatu.
 
Depok, 2012

*) Irwan Kelana, cerpenis, novelis, dan wartawan Republika, kelahiran Depok, Jawa Barat, 1 September 1965. Menggemari kegiatan tulis-menulis sejak SMA. Bukunya yang sudah terbit antara lain Kelopak Mawar Terakhir, Kemboja Terkulai di Pangkuan, Menata Jarak Hati, dan Masa Depan. Sejumlah cerpennya juga dimuat dalam antologi bersama. http://sastra-indonesia.com/2012/04/cinta-di-ujung-senja/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

A Anzieb A. Khoirul Anam A. Muhaimin Iskandar A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Rodhi Murtadho A.H. J Khuzaini A.S Laksana Aa Sudirman Abdul Kirno Tanda Abdurrahman Wahid Acep Iwan Saidi Achiar M Permana Addi Mawahibun Idhom Adhi Pandoyo Adi W. Gunawan Afrion Afriza Hanifa Afrizal Malna Agama Para Bajingan Aguk Irawan MN Agung Poku Agus Buchori Agus Mulyadi Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Setiawan Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wahyudi Agusri Junaidi AH J Khuzaini Ahmad Baso Ahmad Dahri Ahmad Farid Yahya Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Munjin Ahmad Naufel Ahmad Rifa’i Rif’an Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadul Faqih Mahfudz Ahmadun Yosi Herfanda Akhlis Purnomo Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akhudiat Albert Camus Alfathri Adlin Alfian Dippahatang Ali Audah Alim Bakhtiar Alimuddin Amelia Rachman Amie Williams Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin An. Ismanto Andhi Setyo Wibowo Andik Suprihartono Andri Awan Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Antologi Sastra Lamongan Anton Wahyudi Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia Arafat Nur Ari Welianto Arief Rachman Hakim Arif Hidayat Arif Saifudin Yudistira Arman A.Z. Arsyad Indradi Arti Bumi Intaran Asarpin Asep Dudinov Ar Atafras Awalludin GD Mualif Ayu Nuzul Bahrum Rangkuti Beni Setia Benni Setiawan Benny Benke Berita Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bonardo Maulana Wahono Bre Redana Budi Darma Budiman Hakim Buku Bung Hatta Bustan Basir Maras Butet Kertaredjasa Candrakirana Capres Cawapres 2019 Catatan Cerpen Chairil Anwar CNN Indonesia Coronavirus COVID-19 Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahlan Iskan Dahlan Kong Damiri Mahmud Danarto Daniel Dhakidae Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewi Satika Dian R. Basuki Dian Sukarno Dian Tri Lestari Dien Makmur Din Saja Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Diponegoro Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Doddy Hidayatullah Dodit Setiawan Santoso Dody Yan Masfa Donny Anggoro Donny Darmawan Doris Lessing Dr. Hilma Rosyida Ahmad Dwi Pranoto Dyah Ayu Fitriana Edisi Khusus Edy A Effendi Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendri Saiful Eko Prasetyo Eko Tunas Ekwan Wiratno el-Ha Abdillah Enny Arrow Erdogan Esai Esthi Maharani Estiana Arifin Evi Melyati F. Budi Hardiman F. Rahardi Fahmi Faqih Fahri Salam Faisal Kamandobat Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Feby Indirani Felix K. Nesi Festival Gugur Gunung Forum Santri Nasional Frischa Aswarini Fuad Mardhatillah UY Tiba Fuad Nawawi Galeri Sonobudoyo Galuh Tulus Utama Gampang Prawoto Geger Riyanto Geguritan Goenawan Mohammad Gola Gong Grathia Pitaloka Gugun el-Guyanie Gus Ahmad Syauqi Gus Dur Gusti Eka Habib Syech bin Abdul Qodir Assegaf Halim HD Hamdy Salad Hamid Jabbar Hamka Hamzah al-Fansuri Hari Puisi Indonesia (HPI) Harris Maulana Hasan Basri Hasnan Bachtiar Herry Fitriadi Herta Muller Heru Kurniawan Hesti Sartika Hilmi Abedillah Hudan Hidayat IAI TABAH Ibnu Wahyudi Idrus Efendi Ignas Kleden Iis Narahmalia Imam Jazuli Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Inung As Irfan Afifi Irwan Kelana Isbedy Stiawan Z.S. Iwan Simatupang Jafar Fakhrurozi Jajang R Kawentar Jalaluddin Rakhmat Jawa dan Islam JJ. Kusni Jo Batara Surya Joni Ariadinata Jordaidan Rizsyah Jual Buku Paket Hemat Jurnalisme Sastra K.H. Ma'ruf Amin Kadek Suartaya Kadjie MM Kalis Mardiasih Kanti W. Janis Karang Taruna Kedungrejo Katrin Bandel Kedai Kopi Sastra Kedung Darma Romansha Kedungrejo Muncar Banyuwangi Kemah Budaya Panturan (KBP) Kembulan KetemuBuku Jombang KH. M. Najib Muhammad KH. Muhammad Amin (1910-1949) Khairul Mufid Jr Khawas Auskarni Ki Ompong Sudarsono Kitab Arbain Nawawi Kitab Kelamin Kompas TV Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Buana Kasih Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Perupa Lamongan (KOSPELA) Komunitas Sastra dan Teater Lamongan Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Komunitas Selapan Sastra Kopi Bubuk Mbok Djum Kostela KPRI IKMAL Lamongan Kritik Sastra Kumpulan Cerita Buntak Kuswaidi Syafi’ie L Ridwan Muljosudarmo L.K. Ara Lagu Laksmi Shitaresmi Lan Fang Launching Buku Launching dan Bedah Buku Lawi Ibung Linda S Priyatna Literasi Liza Wahyuninto Lona Olavia Lukisan Lukman Santoso Az M. Faizi M. Lutfi M. Raudah Jambak M.D. Atmaja Maduretna Menali Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maimun Zubair Maiyah Banyuwangi Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Manneke Budiman Maratushsholihah Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Mariana Sitohang Mario Vargas Llosa Marsel Robot Mas Garendi Mashuri Massayu Masuki M. Astro Max Arifin Media Seputar Indonesia Mei Anjar Wintolo Melukis Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggalang Dana Amal MG. Sungatno Mianto Nugroho Agung Mien Uno Miftachur Rozak Mihar Harahap Mochtar Lubis Moh. Husen Moh. Jauhar al-Hakimi Moh. Syafari Firdaus Mohamad Sobary Mohammad Rokib Mohammad Wildan Motinggo Busye Muafiqul Khalid MD Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Alfatih Suryadilaga Muhammad Alimudin Muhammad Anta Kusuma Muhammad Marzuki Muhammad Muhibbuddin Muhammad N. Hassan Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammad Yunus Muhidin M. Dahlan Mukhsin Amar Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Munawir Aziz Mutia Sukma N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Ndix Endik Nenden Lilis A Nezar Patria Ni Made Purnama Sari Ninin Damayanti NKRI Nur Taufik Nurel Javissyarqi Nurul Komariyah Obrolan Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Orhan Pamuk Pagelaran Musim Tandur Palestina Palupi Panca Astuti Pameran Lukisan Parimono V / 40 Plandi Jombang Pawon Seni PDS H.B. Jassin Pekan Literasi Lamongan Pelukis Tarmuzie Pendhapa Art Space Pendidikan Penerbit Pelangi Sastra Pengajian Pipiet Senja Politik Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang Pramoedya Ananta Toer Presiden Jokowi Proses Kreatif Puisi Puisi Menolak Korupsi (PMK) Pungkit Wijaya Pusat Studi Budaya Banyuwangi (PSBB) Pustaka LaBRAK Putu Fajar Arcana R Giryadi R. Ng. Ronggowarsito Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rakai Lukman Rakhmat Nur Hakim Rani R. Moediarta Raudal Tanjung Banua Raudlotul Immaroh Reiny Dwinanda Remy Syaldo Remy Sylado Rendy Adrikni Sadikin Resensi Reuni dan Halal Bihalal Mts Putra-Putri Simo 1991-1992 Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Antoni Riki Dhamparan Putra Rimbun Natamarga Rinto Andriono Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Romel Masykuri Nur Arifin Ronny Agustinus Rosi Rosihan Anwar Rosmawaty Harahap Roy Kusuma Rumah Budaya Pantura (RBP) Rx King Motor S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sainul Hermawan Sajak Salman Faris Sandiaga Uno Sanggar Lukis Alam Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang Sanusi Pane Sapardi Djoko Damono Saripuddin Lubis Sasti Gotama Saut Situmorang Saya Sayyid Muhammad Hadi Assegaf Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSAstra Boenga Ketjil Seni Gumira Ajidarma Seni Rupa Seno Joko Suyono Setia Budhi Shiny.ane el’poesya Shofa As-Syadzili Sholihul Huda Shulhan Hadi Sihar Ramses Simatupang Siti Aisyatul Adawiyah Siwi Dwi Saputro Soediro Satoto Soeparno S. Adhy Soesilo Toer Soetanto Soepiadhy Sofyan RH. Zaid Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad STKIP PGRI Ponorogo Subagio Sastrowardoyo Suminto A. Sayuti Sunardian Wirodono Sunlie Thomas Alexander Sunoto Sunu Wasono Sunudyantoro Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syahrudin Attar Syaifuddin Gani Syaikh Prof. Dr. dr. Yusri Abdul Jabbar al-Hasani Asyadzili Syaikh Yusri al-Hasani Al Azhari Taman Ismail Marzuki Taufiq Wr. Hidayat Teater Ilat Teguh Afandi Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Tere Liye Toko Buku PUstaka puJAngga Lamongan Tri Wahono TS Pinang Tsani Fanie Tulus S Udo Z. Karzi Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Jember Untung Wahyudi Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Virdika Rizky Utama W.S. Rendra Wage Daksinarga Wahyu Aji Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Widie Nurmahmudy Yanuar Widodo Yanusa Nugroho Yerusalem Yetti A. KA Yohanes Padmo Adi Nugroho Yohanes Sehandi Yoks Kalachakra Yonathan Rahardjo Yuditeha Yusri Fajar Yuval Noah Harari Zainal Arifin Thoha Zehan Zareez Zuhdi Swt Zulfikar Akbar