Selasa, 06 Juli 2021

Nekromansi

A. Rodhi Murtadho
 
Nekromansi menggejala. Banyak orang percaya akan perkataan Ilyas. Masa depan. Ketertarikan pengetahuan membuat pasien mendatanginya. Terutama mengenai jodoh, rezeki, bahkan kematian. Ihwal yang seharusnya hanya diketahui Tuhan. Keberanian Ilyas sudah melebihi batas. Mendahului Tuhan. Banyak Kyai, pendeta, biksu, dan banyak tokoh agama bersatu mengenyahkannya. Memusnahkan perbuatan Ilyas bahkan bisa jadi Ilyas sendiri yang akan dipancung.
 
Orang-orang terus berbondong-bondong mendatangi Ilyas. Ingin mengatahui nasibnya. Pemberitaan miring mengenai Ilyas seakan menjadi ajang promosi bagi Ilyas untuk menjadi terkenal. Lantaran tak ada tindakan tokoh agama untuk menghakiminya. Cuma omong kosong, gembar-gembor Ilyas pada setiap pasiennnya.
 
Banyak paranormal lain yang merasa tersaingi. Segala macam teluh dikirim. Bahkan berebutan untuk mencengkeram Ilyas. Namun semua juga berebut cepat-cepat ingin pulang kembali pada majikannya. Teluh-teluh kalah dengan aura pengaruh dari tubuh Ilyas. Berbagai macam teror dilakukan namun hasilnya juga nihil. Ilyas tetap hidup dan makin kokoh.
 
Ketentraman sudah hilang. Mencekam. Banyak teluh yang nyasar. Memang datang kepada Ilyas namun kembalinya banyak yang nyasar. Akibatnya banyak yang terkena teluh. Malah pasiennya bertambah. Banyak yang datang juga minta diusirkan teluh yang menempel pada diri mereka. Tentu saja hal ini makin membuat gemas para paranormal yang lain. Orderan mereka sepi. Mereka yang menggantungkan hidup pada profesi paranormal harus mencari peluang lain untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Ijasah yang mereka punyai, yang sempat dianggurkan lama, dipergunakan lagi. Ada yang menjadi kuli bangunan, kernet bus, pemulung, tukang servis, tukang becak, atau menjadi karyawan pabrik. Banyak yang kembali lagi pada profesi mereka sebelum menjadi paranormal.
 
Seloroh Ilyas semakin membumi. Ia layaknya artis atau pejabat negara yang terkenal dalam waktu singkat. Ukiran-ukiran perkataannya menancap begitu dalam. Seperti dewa yang mengeluarkan petuah. Semua menurut. Tak ada protes. Tarifnya makin mahal. Hanya kalangan menengah ke atas saja yang bisa menjangkaunya. Terutama artis yang banyak datang untuk menanyakan kepopulerannya. Atau pejabat yang ingin menanyakan kesuksesannya. Bahkan hartawan yang terlau sibuk mencari uang hingga lupa jodohnya, datang dan menanyakan calon pasangannya. Yang lebih tidak dimengerti, presiden-presiden dari berbagai negara menanyakan mengenai negaranya dan akhir karir mereka. Menjadi pecundang, menjadi penjahat, atau menjadi semakin populer.
 
“Mbah Ilyas, bagaimana saya bisa mewujudkan kemakmuran negeri kami? Juga kemakmuran saya pribadi seusai menjabat. Tolong carikan jalan hingga saya bisa menjadi seorang pahlawan bagi negeri. Bukan sebagai pecundang di masa pensiun dalam usia tua,” ungkap penerjemah bapak presiden manca negara.
 
Ilyas tertunduk sebentar. Memang ia hanya mengerti bahasa negerinya. Komat-kamit mulutnya disertai gerakan yang tak teratur. Matanya seperti hilang kesadaran. Wajah terlihat memucat. Tak ada degup jantung sepertinya atau pun nafas yang menyertai kehidupannya. Ilyas seperti mati. Badan tampak kaku. Namun masih duduk bersila dengan tangan tergeletak di paha.
 
Ilyas ingat istrinya yang pergi meninggalkannya. Sebelum menjadi sepopuler saat ini, Ilyas adalah seorang penganggur. Sumini, istrinya, tak betah hidup melarat tercekik hutang. Ia pergi dengan laki-laki lain. Wajah Sumini terus saja melekat pada ritualnya kali ini. Di hadapan presiden manca negara Ilyas tiba-tiba menangis. Bisikan-bisikan halus yang hanya didengarnya sendiri membuatnya semakin tak bisa menahan air matanya.
 
“Sumini meninggal,” lamat-lamat Ilyas mendengarnya.
 
Tak seperti biasannya. Ilyas menanyakan masalah pasien dan akan ada jawban untuk si pasien. Namun jawaban yang didapat mengenai Sumini, masalahnya sendiri.
***
 
Sumini yang sumringah dengan senyumnya terus saja membangkitkan gairah. Tak ada yang mampu menolaknya. Laki-laki yang berbirahi normal tentu tak akan melewatkannya. Lesung pipi seakan mengundang Ilyas untuk segera menggumulinya. Dada yang mendongkol membuat Ilyas enggan melepaskan gairah. Melepaskan kepenatan bekerja sebagai buruh pabrik. Penghasilan yang jelas tak cukup memenuhi segalanya dalam gemerlap kehidupan.
 
Ilyas bertambah panas. Dalam matanya hanya ada Sumini. Segala kekuatan tertuju pada istrinya. Menancapkan gairah yang kian membara. Mengumpat segala kenikmatan. Jerit ranjang menerbangkan segala peluh yang mengucur. Mulus dan licin kulit makin mengencangkan lingkar tangan. Lidah yang halus saling mereguk kesegaran. Menyatu. Tangan tak pernah sekali pun berhenti mengendus setiap lekuk. Memainkannya. Degup jantung mengencang tak terkontrol makin mempercepat deru nafas. Mata yang terpejam tak juga membuat tidur. Saling lunglai dalam kepasrahan. Ilyas dan Sumini kemudian bersatu dengan malam.
 
Keadaan terus saja berubah. Ilyas tiba-tiba dipecat dari pabrik. Pengurangan karyawan. Ilyas mulai menganggur. Tak ada penghasilan. Hutang makin menumpuk. Kegelisahan makin menjadi. Tak ada modal untuk buka usaha sendiri. Atau tak ada tempat untuk menerimanya hanya sekadar menggaji seharga enam piring makanan sehari. Jalan buntu di depan. Segala malu membebani dalam setiap kerdipan mata.
 
Kegelisahan dalam kesendirian ditinggal Sumini terus melayangkan pikiran. Perut yang makin berdendang dengan nada saling menggesek perih tak juga membuat Ilyas sekejab bisa memejamkan mata. Pikirannya memancar ke segala arah. Mencuat tak henti. Berlompatan. Ada yang datang dan ada yang segera pergi. Sumini pergi dengan laki-laki lain.
 
Awalnya Ilyas selalu menepis segala bisikan yang menyertainya. Tak mau menjadi gila dengan kesedihannya. Tak mau menuruti ajakan suara. Namun perihnya perut menjadikannya penurut. Ilyas selalu menang taruhan. Seakan tahu masa depan. Berceramah layaknya dai. Beraksi menemukan segala kemegahan dengan pembacaan peluang yang tepat. Hutangnya terbayar. Hidupnya serba kecukupan. Hasil ramalannya membuat orang-orang tak segan membayarnya mahal ketika mereka menang togel.
 
Bisikan itu terus saja mengajak Ilyas untuk melakukan upacara malam hari. Ritual dengan kemenyan. Memperkuat naluri. Menambah ilmu kadikjayaan. Ilyas tak bisa melepaskan cengkraman suara. Sebenarnya pun Ilyas enggan untuk membuangnya. Satu-satunya sumber penghasilan. Orang membayarnya ketika dirinya menjadi gila dengan menuruti perkataan suara itu.
 
Mantra-mantra terus berdatangan tak diundang. Lekat dalam otak tanpa menghafal. Tak tahu kini Ilyas menyembah siapa. Asalkan bisa melanjutkan hidup dengan gelimang harta. Tak peduli sebutan orang-orang. Paranormal. Namun seolah menjadi bangga dengan sebutan itu. Semua orang menjadi takut. Tak berani menyentuh atau mendekat. Semakin sakti. Yang tak kasat mata mulai menampakkan diri dalam ritualnya. Mengkomunikasikan apa yang ditanya atau memberitahu yang terjadi atau yang akan terjadi.
 
Sakit hati kepada laki-laki pembawa Sumini membuat Ilyas kalap. Meminta mantra yang mujarab. Ajaib. Tak bisa disembuhkan. Teluh. Segera mengirimnya. Rambut dan pakaian Sumini yang tertinggal dijadikan alat. Meminang beberapa penyakit dan menjatuhkannya tepat pada laki-laki yang membuatnya kehilangan istri.
***
 
Kucuran deras air matanya membuat ngeri presiden manca negara dan penerjemahnya. Tak mengetahui atau berani menanyakannya pada Ilyas. Hanya menunggu apa yang akan diucapkannya. Perasaan was-was terus menggelayut di setiap aliran darah. Membuat mereka terus berpikir tak karuan.
 
Ilyas tak pernah menyangka. Teluh yang dikirimkan pada laki-laki pembawa Sumini sangat manjur hingga membuatnya meninggal. Namun kesetian macam apa yang dilakukan Sumini. Mengapa ia ikut mati bersama laki-laki itu. Padahal ia tak pernah menunjukkan kesetiaan semacam itu kepadanya. Mungkin kalau ia mau kembali pada Ilyas, akan menjadi perempuan dengan gelimang harta. Tak seperti dulu. Ia semakin tak mengerti akan apa yang diinginkan Sumini. Air matanya terus mengucur. Apa mungkin suara yang didengarnya mulai bohong kepadanya. Namun Ilyas tahu, suara itu tak sekalipun pernah berbohong.
 
“Pak presiden, maafkan saya! Istri saya meninggal dunia di sana bersama laki-laki yang membawanya kabur. Saya baru saja diberitahu.”
 
“Oleh siapa Mbah?” suara penerjemah menyambung lidah majikannya menyahuti pernyataan Ilyas.
 
“Suara yang selau mengikuti saya. Suara yang selau memberi tahu masa depan. Suara yang menjadikan saya paranormal. Suara yang menjadikan saya sukses dan terkenal sampai saat ini.”
 
“Jadi, suara itu yang menjadikan Mbah seorang paranormal. Karena Mbah percaya dengan suara itu?”
 
“Bagaimana saya harus menghindar. Kalau ada tempat yang bisa membebaskan saya dari suara itu tentu saya akan ke sana dan akan hidup di sana. Saya tahu hanya kematian pintunya. Itu pun saya diberitahu suara itu.”
 
Rasa tak percaya semakin membingungkan presiden dan penerjemahnya. Tak tahu apa yang sebenarnnya yang terjadi. Tak tahu pula mengapa parnormal seterkenal Ilyas membuka rahasianya. Sekilas tebersit dalam benak yang mulai ragu. Mungkinkah paranormal, dukun, yang terkenal sampai manca negara merupakan orang gila. Namun bagaimana orang-orang bisa yakin dan mempercayainya. Bagaimana mungkin setiap perkataannya menjadi kenyataan?
 
“Bagaimana dengan pertanyaan kami tadi Mbah? Apa sudah ada jawaban? Berapa lama lagi kami harus menunggu?”
 
Ilyas hanya diam. Seakan ditepisnya perkataan orang nomor satu di negerinya. Hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. Air matanya tak bisa berhenti. Mulutnya terus berkomat-kamit. Tangannya terus saja membakar kemenyan. Menjaga wangi yang memang sudah tercipta. Diambilnya setangkup kembang yang sudah tersedia. Dimasukkan dalam bara kemenyan yang mengepul. Seakan meleleh dan menghilang.
 
“Semoga kau menerimanya, Dik!” ucap Ilyas dengan nada pilu bercampur haru.
 
Ditatapnya dua orang yang berada tepat di depannya. Belum juga berkutik. Bertahan meminta jawaban. Tak dilepaskan tikaman matanya pada dua orang itu. Mereka terdiam. Saling memandang. Tak juga bergerak. Kecuali degup jantung dan hembusan nafas pelan. Semakin terbawa penasaran yang makin menjadi-jadi.
 
“Tolong kau katakan pada majikanmu, kalau pertanyaannya tak bisa kujawab sekarang. Mungkin juga nanti, tidak. Saya tak bisa meramal diri sendiri. Katakan juga kalau saya akan berhenti menjadi paranormal dan hidup sewajarnya. Kalau nanti suara itu terus datang, lebih baik saya akan masuk rumah sakit jiwa. Saya sudah gila.”
 
Diam menyentak. Tak ada tutur yang lebih berarti selain merenung. Ilyas memejamkan mata. Kedua orang yang ada di hadapannya hanya menyiratkan kebingungan dan penasaran yang dalam. Tak ada senyum. Bahkan pandangan Ilyas tak mengantar mereka keluar dari pintu.
 
Air mata yang sudah lama tak keluar kembali menetes. Mengucur deras. Retasan penyesalan kembali merangsek dalam jajaran gelap pandang. Bayang-bayang kenangan datang. Mendesak dan meracau. Mengumpat di sela-sela kebimbangan.
 
Sepi dirasa. Tawa sudah sirna. Harapan takkan pernah membuka kesempatan lagi. Hidup takkan ada sinar dengan kemewahan yang didapat. Tambatan hati untuk berbagi takkan pernah kembali. Salah diri. Ilyas hanya memaki.
 
“Tenanglah Ilyas. Relakan Sumini pergi. Kau bisa mendapatkan banyak perempuan yang kau mau dengan kemewahanmu,” suara tiba-tiba memunculkan diri tanpa ada panggilan dari Ilyas.
 
“Tak usah kau menghiburku. Aku bukan anak kecil yang mudah kau rayu. Aku tak menginginkan perempuan lain lagi selain Sumini. Itu mengapa aku kirimkan teluh kepada suaminya yang baru. Aku berharap Sumini akan kembali lagi padaku. Bukan seperti ini. Kau tak pernah mengatakan kalau akibat teluh yang kukirimkan bisa menyebabkan Sumini bunuh diri,” Ilyas menampakkan kemarahan.
 
“Jangan kau salahkan aku! Kau sendiri tak bertanya padaku. Aku takkan memberi tahu. Sesuai perjanjian. Kau bertanya, aku menjawab.”
 
“Bangsat kau! Pergi saja dariku. Aku sudah muak mendengar ocehanmu.”
 
Ilyas kembali meratap. Tak menemukan diri lagi ketika kuasa suara terus saja membuntuti. Sumini telah berpulang. Kesetiaan yang sungguh luar biasa. Ilyas ingin melakukan kesetiaan yang sama kepada Sumini. Ilyas ingin berpulang.

Lamongan, 11 Juli 2006. http://sastra-indonesia.com/2011/09/nekromansi/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

A Anzieb A. Khoirul Anam A. Muhaimin Iskandar A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Rodhi Murtadho A.H. J Khuzaini A.S Laksana Aa Sudirman Abdul Kirno Tanda Abdurrahman Wahid Acep Iwan Saidi Achiar M Permana Addi Mawahibun Idhom Adhi Pandoyo Adi W. Gunawan Afrion Afriza Hanifa Afrizal Malna Agama Para Bajingan Aguk Irawan MN Agung Poku Agus Buchori Agus Mulyadi Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Setiawan Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wahyudi Agusri Junaidi AH J Khuzaini Ahmad Baso Ahmad Dahri Ahmad Farid Yahya Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Munjin Ahmad Naufel Ahmad Rifa’i Rif’an Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadul Faqih Mahfudz Ahmadun Yosi Herfanda Akhlis Purnomo Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akhudiat Albert Camus Alfathri Adlin Alfian Dippahatang Ali Audah Alim Bakhtiar Alimuddin Amelia Rachman Amie Williams Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin An. Ismanto Andhi Setyo Wibowo Andik Suprihartono Andri Awan Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Antologi Sastra Lamongan Anton Wahyudi Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia Arafat Nur Ari Welianto Arief Rachman Hakim Arif Hidayat Arif Saifudin Yudistira Arman A.Z. Arsyad Indradi Arti Bumi Intaran Asarpin Asep Dudinov Ar Atafras Awalludin GD Mualif Ayu Nuzul Bahrum Rangkuti Beni Setia Benni Setiawan Benny Benke Berita Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bonardo Maulana Wahono Bre Redana Budi Darma Budiman Hakim Buku Bung Hatta Bustan Basir Maras Butet Kertaredjasa Candrakirana Capres Cawapres 2019 Catatan Cerpen Chairil Anwar CNN Indonesia Coronavirus COVID-19 Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahlan Iskan Dahlan Kong Damiri Mahmud Danarto Daniel Dhakidae Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewi Satika Dian R. Basuki Dian Sukarno Dian Tri Lestari Dien Makmur Din Saja Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Diponegoro Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Doddy Hidayatullah Dodit Setiawan Santoso Dody Yan Masfa Donny Anggoro Donny Darmawan Doris Lessing Dr. Hilma Rosyida Ahmad Dwi Pranoto Dyah Ayu Fitriana Edisi Khusus Edy A Effendi Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendri Saiful Eko Prasetyo Eko Tunas Ekwan Wiratno el-Ha Abdillah Enny Arrow Erdogan Esai Esthi Maharani Estiana Arifin Evi Melyati F. Budi Hardiman F. Rahardi Fahmi Faqih Fahri Salam Faisal Kamandobat Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Feby Indirani Felix K. Nesi Festival Gugur Gunung Forum Santri Nasional Frischa Aswarini Fuad Mardhatillah UY Tiba Fuad Nawawi Galeri Sonobudoyo Galuh Tulus Utama Gampang Prawoto Geger Riyanto Geguritan Goenawan Mohammad Gola Gong Grathia Pitaloka Gugun el-Guyanie Gus Ahmad Syauqi Gus Dur Gusti Eka Habib Syech bin Abdul Qodir Assegaf Halim HD Hamdy Salad Hamid Jabbar Hamka Hamzah al-Fansuri Hari Puisi Indonesia (HPI) Harris Maulana Hasan Basri Hasnan Bachtiar Herry Fitriadi Herta Muller Heru Kurniawan Hesti Sartika Hilmi Abedillah Hudan Hidayat IAI TABAH Ibnu Wahyudi Idrus Efendi Ignas Kleden Iis Narahmalia Imam Jazuli Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Inung As Irfan Afifi Irwan Kelana Isbedy Stiawan Z.S. Iwan Simatupang Jafar Fakhrurozi Jajang R Kawentar Jalaluddin Rakhmat Jawa dan Islam JJ. Kusni Jo Batara Surya Joni Ariadinata Jordaidan Rizsyah Jual Buku Paket Hemat Jurnalisme Sastra K.H. Ma'ruf Amin Kadek Suartaya Kadjie MM Kalis Mardiasih Kanti W. Janis Karang Taruna Kedungrejo Katrin Bandel Kedai Kopi Sastra Kedung Darma Romansha Kedungrejo Muncar Banyuwangi Kemah Budaya Panturan (KBP) Kembulan KetemuBuku Jombang KH. M. Najib Muhammad KH. Muhammad Amin (1910-1949) Khairul Mufid Jr Khawas Auskarni Ki Ompong Sudarsono Kitab Arbain Nawawi Kitab Kelamin Kompas TV Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Buana Kasih Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Perupa Lamongan (KOSPELA) Komunitas Sastra dan Teater Lamongan Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Komunitas Selapan Sastra Kopi Bubuk Mbok Djum Kostela KPRI IKMAL Lamongan Kritik Sastra Kumpulan Cerita Buntak Kuswaidi Syafi’ie L Ridwan Muljosudarmo L.K. Ara Lagu Laksmi Shitaresmi Lan Fang Launching Buku Launching dan Bedah Buku Lawi Ibung Linda S Priyatna Literasi Liza Wahyuninto Lona Olavia Lukisan Lukman Santoso Az M. Faizi M. Lutfi M. Raudah Jambak M.D. Atmaja Maduretna Menali Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maimun Zubair Maiyah Banyuwangi Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Manneke Budiman Maratushsholihah Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Mariana Sitohang Mario Vargas Llosa Marsel Robot Mas Garendi Mashuri Massayu Masuki M. Astro Max Arifin Media Seputar Indonesia Mei Anjar Wintolo Melukis Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggalang Dana Amal MG. Sungatno Mianto Nugroho Agung Mien Uno Miftachur Rozak Mihar Harahap Mochtar Lubis Moh. Husen Moh. Jauhar al-Hakimi Moh. Syafari Firdaus Mohamad Sobary Mohammad Rokib Mohammad Wildan Motinggo Busye Muafiqul Khalid MD Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Alfatih Suryadilaga Muhammad Alimudin Muhammad Anta Kusuma Muhammad Marzuki Muhammad Muhibbuddin Muhammad N. Hassan Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammad Yunus Muhidin M. Dahlan Mukhsin Amar Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Munawir Aziz Mutia Sukma N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Ndix Endik Nenden Lilis A Nezar Patria Ni Made Purnama Sari Ninin Damayanti NKRI Nur Taufik Nurel Javissyarqi Nurul Komariyah Obrolan Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Orhan Pamuk Pagelaran Musim Tandur Palestina Palupi Panca Astuti Pameran Lukisan Parimono V / 40 Plandi Jombang Pawon Seni PDS H.B. Jassin Pekan Literasi Lamongan Pelukis Tarmuzie Pendhapa Art Space Pendidikan Penerbit Pelangi Sastra Pengajian Pipiet Senja Politik Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang Pramoedya Ananta Toer Presiden Jokowi Proses Kreatif Puisi Puisi Menolak Korupsi (PMK) Pungkit Wijaya Pusat Studi Budaya Banyuwangi (PSBB) Pustaka LaBRAK Putu Fajar Arcana R Giryadi R. Ng. Ronggowarsito Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rakai Lukman Rakhmat Nur Hakim Rani R. Moediarta Raudal Tanjung Banua Raudlotul Immaroh Reiny Dwinanda Remy Syaldo Remy Sylado Rendy Adrikni Sadikin Resensi Reuni dan Halal Bihalal Mts Putra-Putri Simo 1991-1992 Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Antoni Riki Dhamparan Putra Rimbun Natamarga Rinto Andriono Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Romel Masykuri Nur Arifin Ronny Agustinus Rosi Rosihan Anwar Rosmawaty Harahap Roy Kusuma Rumah Budaya Pantura (RBP) Rx King Motor S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sainul Hermawan Sajak Salman Faris Sandiaga Uno Sanggar Lukis Alam Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang Sanusi Pane Sapardi Djoko Damono Saripuddin Lubis Sasti Gotama Saut Situmorang Saya Sayyid Muhammad Hadi Assegaf Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSAstra Boenga Ketjil Seni Gumira Ajidarma Seni Rupa Seno Joko Suyono Setia Budhi Shiny.ane el’poesya Shofa As-Syadzili Sholihul Huda Shulhan Hadi Sihar Ramses Simatupang Siti Aisyatul Adawiyah Siwi Dwi Saputro Soediro Satoto Soeparno S. Adhy Soesilo Toer Soetanto Soepiadhy Sofyan RH. Zaid Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad STKIP PGRI Ponorogo Subagio Sastrowardoyo Suminto A. Sayuti Sunardian Wirodono Sunlie Thomas Alexander Sunoto Sunu Wasono Sunudyantoro Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syahrudin Attar Syaifuddin Gani Syaikh Prof. Dr. dr. Yusri Abdul Jabbar al-Hasani Asyadzili Syaikh Yusri al-Hasani Al Azhari Taman Ismail Marzuki Taufiq Wr. Hidayat Teater Ilat Teguh Afandi Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Tere Liye Toko Buku PUstaka puJAngga Lamongan Tri Wahono TS Pinang Tsani Fanie Tulus S Udo Z. Karzi Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Jember Untung Wahyudi Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Virdika Rizky Utama W.S. Rendra Wage Daksinarga Wahyu Aji Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Widie Nurmahmudy Yanuar Widodo Yanusa Nugroho Yerusalem Yetti A. KA Yohanes Padmo Adi Nugroho Yohanes Sehandi Yoks Kalachakra Yonathan Rahardjo Yuditeha Yusri Fajar Yuval Noah Harari Zainal Arifin Thoha Zehan Zareez Zuhdi Swt Zulfikar Akbar