Kamis, 29 Juli 2021

Sastra Selingkuh Itu Enak Dibaca dan Perlu!

Sutan Iwan Soekri Munaf
sinarharapan.co.id
 
Selingkuh. Ah, ini kata yang negatif, kata moralis. Atau, ini kata negatif, kata seorang munafik (namun diam-diam dia melakukan aktivitas selingkuh juga). Sedangkan yang berpikir bebas akan mengatakan selingkuh tak selalu negatif, dan tak selalu positif, tapi juga tak selalu netral. Argumentasinya, selingkuh itu mirip pisau. Jika pisau tajam itu dipegang seorang tukang jagal di rumah jagal, maka kita akan berharap dapat keratan tepat atas daging sapi yang dipotongnya.
 
Bagi seorang pembunuh, sebilah pisau akan menjadi alat untuk menghilangkan nyawa orang lain (Tentu saja, jika polisi secanggih mengungkap kasus Bom Legian Bali, maka si pembunuh akan ditangkap dan dijebloskan ke sel penjara setelah melewati meja hijau!). Malah sebilah pisau bisa jadi hanya sebuah pajangan di balik lemari kaca di sebuah rumah kolektor senjata tajam. Juga, di etalase sebuah toko, boleh jadi sebilah pisau itu komoditi dagangan. Lantas, bagaimana kita vonis pisau itu negatif, positif atau netral? Kira-kira begitu argumen sang pemikir bebas.
 
Lha, sang moralis akan mendebat, bukankah selingkuh itu adalah melakukan kegiatan tak sah, misalnya seorang suami yang mempunyai istri sah, tapi melakukan affair dengan perempuan lain secara tak sah tanpa diketahui istrinya. Apakah ini positif?
 
Sang pemikir bebas pun menjawab. Jika dari sudut pandang sang istri yang berprinsip perkawinan itu sakral dan suami hanya boleh beristri satu dan istri bersuami satu, maka selingkuh adalah negatif. Tapi apa semua istri berpikir begitu? Bagaimana jika seorang istri yang mencintai suaminya, tetapi kondisi istri itu mempunyai kelainan, bila melakukan coitus dengan suaminya akan mengganggu kesehatannya, lantas sang istri mendiamkan apa yang “dilakukan” suaminya “di luar” asal kehidupan rumah tangganya tetap berlangsung? Dari sudut pandang sang istri, suaminya melakukan selingkuh adalah positif, karena “kebutuhan” sang suami dapat “tersalurkan” dan keutuhan rumahtangga dapat terjaga. Atau sang istri mengistilahkan, isi boleh tumpah di luar, asal kembali botol.
 
Adakah seorang istri yang demikian? Tanya itu keluar begitu saja dari mulut sang munafik menukas perdebatan.
Mengapa tak ada?
***
 
Sastra. Ya, sastra itu punya pakem. Jika keluar pakemnya, pasti sebuah karya tulis itu bukan sastra. Demikian ungkap seorang yang mengagung-agungkan sastra.
 
Apa sih pakemnya itu? Tanyaku seketika dalam sebuah diskusi di sebuah warung di pinggir Jalan Margonda Raya, suatu malam menjelang dinihari.
 
“Sastra itu mempunyai tema-tema besar. Berangkat dari pemikiran-pemikiran besar. Dituliskan dengan semangat besar, sehingga diharapkan akan berdampak besar terhadap masyarakatnya, baik sekarang maupun mendatang,” tutur sang pengagung sastra sambil kemudian menyeruput kopi tubruk yang mulai dingin.
 
Kemudian dia melanjutkan. Contohnya, sajak Chairil Anwar yang berjudul “Aku”. Semangat individualistis yang melawan romantisme. Juga sajak-sajak Sutardji Calzoum Bachri pada era awal, yang membebaskan kata dari segala macam atribut pada kata itu sendiri. Lantas puisi bebas yang digagas Group Apresiasi Sastra (GAS) Institut Teknologi Bandung pada tahun 1978-1979, dengan pendapat puisi bukan sekadar teks tertulis, di mana puisi boleh jadi berupa gambar. Atau puisi Danarto yang dibawakan dengan tariannya. Malah kini puisi, sebagaimana kemajuan zaman, dapat dikolaborasikan antara teks, cahaya, gerak, suara, waktu dan hal ini tampak pada puisi yang memanfaatkan multimedia sebagai medianya.
 
Aku menangkap lain, kataku. Chairil justru mendobrak dan keluar pakem romantisme zamannya. Juga Sutardji dia membebaskan kata, karena kata sudah dijajah oleh atribut pemaknaan bermacam ragam, sehingga kata yang terjajah itu sudah tak penting lagi. Hal ini tampak sekali di pengadilan atau meja hijau. Kata “bersalah” atau “tak bersalah” itu amat bergantung dari kemampuan pengacara maupun jaksa untuk meyakinkan hakim, sehingga perbuatan sang terdakwa tak menjadi terlalu penting lagi. Dan pada GAS ITB, Danarto maupun puisi kolaborasi multimedia hanya merupakan pendobrakan atas pakem yang sebelumnya ada. Jika sastra itu taat pakem, anehnya yang Anda katakan dan menjadi ilustrasi Anda adalah sudah keluar pakem pada kondisi sastra saat itu.
 
Sang pengagung sastra itu menyulut rokoknya. Kemudian, setelah menghisap dan menghembuskan asap rokoknya, dia pun berkata lagi. Sastra itu mempunyai tema-tema baru. Berangkat dari pemikiran-pemikiran baru. Dituliskan dengan semangat baru, sehingga diharapkan akan berdampak baru terhadap masyarakatnya, baik sekarang maupun mendatang. Jadi pakemnya bukan hanya yang besar tadi.
 
Bagaimana dengan puisi-puisi Wiji Thukul? tanyaku. Bukankah tema begitu sudah banyak sekali yang mengusungnya. Sejak revolusi industri di barat sana, sehingga melahirkan Marx maupun Engels. Di negeri kita, sastra yang mengusung tema perjuangan buruh sudah tampak sejak akhir tahun 1950-an. Lantas, Wowok Hesti Prabowo yang mendeklarasikan dirinya sebagai Presiden Penyair Buruh, apakah dia bukan sastrawan karena sajak-sajaknya juga mengusung ihwal buruh, selepas Wiji Thukul “meradang” dengan puisi-puisinya. Lantas di mana baru dan kebaruannya?
***
 
Di suatu tempat. Di suatu hari.
Sastra tak boleh selingkuh. Sastra selingkuh adalah bukan sastra, kata seorang moralis yang pengagung sastra.
Maksud Anda? Tanyaku.
 
Sastra itu kegiatan teks. Manakala sastra keluar dari teks, ya sudah selingkuh. Ya, bukanlah sastra namanya. Sastra harus besar, manakala tak besar, maka bukanlah sastra namanya. Sastra itu harus baru, manakala tak baru, maka bukanlah sastra namanya. Sastra itu harus mencerahkan pembacanya, manakala tak ada pencerahan, maka itu bukanlah sastra. Jadi sastra itu kegiatan teks, yang besar dan baru, sekaligus mencerahkan.
 
Jadi menurut Anda puisi Danarto yang ditarikan, puisi gambar GAS ITB 1978-1979, sepotong daging yang dibiarkan Sutardji membusuk, dan karya sastra yang berada di media internet yang memanfaatkan multimedia, bukanlah sastra?
 
Ah, itu semua sampah, jawab sang moralis pengagung sastra dengan santai. “Sastranya sastra selingkuh,” tambahnya lagi.
 
Aku terdiam. Keterdiamanku, karena pada lain waktu dan lain tempat, dan lain orang berpendapat karya Danarto yang ditarikan, puisi GAS ITB, sepotong daging membusuk yang dihadirkan Sutardji, maupun karya di media internet, dinyatakan sebagai karya sastra.
 
Aku tak paham maksud Anda, kataku. Mungkin hampir mirip perdebatan beberapa masa lalu antara sastra dan sastra pop serta sastra popular. Ketika itu yang disebut karya sastra diwakili dengan pemuatan di majalah Horison, sedangkan sastra pop diwakili dengan pemuatan di majalah Aktuil dan Stop, sedangkan sastra popular diwakili dengan pemuatan di majalah-malajah seperti Gadis, Femina, dan Kartini.
 
Boleh jadi ya, boleh jadi tak, kata sang pengagung sastra yang moralis itu. Pasalnya, pakem sastra ya sastra. Sedangkan sastra pop itu mengarah ke pop art, yaitu suatu era pemberontakan atas kemapanan. Hal ini sejalan dengan pemberontakan The Beatles terhadap kemapanan tahun 1960-an, yang dihadirkan secara komunikatif, namun sarat dengan pemikiran filosofi. Ujungnya melahirkan pencerahan pada pembaca sastranya. Sementara sastra popular hanya merupakan bacaan popular, yang cenderung menyajikan sesuai permintaan pembaca, seringkali tanpa ada pencerahan. Proses melahirkan karyanya pun tanpa melewati pengendapan. Sastra popular ini mirip kasusnya dengan era sebelumnya yang dikenal dengan Roman Picisan.
 
“Jadi, novel seperti Ali Topan Anak Jalanan buah tangan Teguh Esha yang banyak mempercikkan pencerahan dan dikenal sebagai sastra pop atau novel pop, dan juga Gita Cinta dari SMA buah tangan Eddy D Iskandar yang disebut sastra popular itu, menurut Anda bukan karya sastra?” tanyaku tiba-tiba tersentak.
 
Bukan. Karya sastra ya karya sastra. Tak ada embel-embel sastra pop atau popular, jawab sang pengagung sastra yang moralis itu.
 
“Lantas, bagaimana dengan puisi buruh, sebagaimana yang kita ketahui di mana tokohnya adalah Wiji Thukul dan pengikut setianya adalah Wowok Hesti Prabowo?” tanyaku lagi.
 
Ah, itu sampah, tegas sang pengagung sastra yang moralis itu. “Itu kan hanya tumpukan kata-kata makian, penderitaan dan sebagainya. Apakah begitu sesaknya hidup seorang buruh? Tak pernahkah ada keceriaan dalam kehidupan buruh? Tak pernahkah ada pencerahan bagi buruh?” ujarnya mendudu.
 
Lagi-lagi aku terdiam mendengar celoteh sang pengagung sastra yang moralis itu.
Sang pengagung sastra yang moralis itu menenggak gelas birnya.
 
Setelah itu matanya berbinar-binar. “Aku melihat sastra diselingkuhkan oleh orang menyebut dirinya sastrawan, padahal belum sastrawan,” katanya lagi.
Aku tak mengerti maksud Anda, Bung, kataku jujur.
 
Sederhana saja. Sastra sebagai istri sah sastrawan sudah tak mendapat tempat lagi. Orang yang mengaku sastrawan menjadikan sastra sebagai pijakan untuk mendapatkan selingkuhan barunya, seperti sastra pop-lah, sastra popular-lah, atau puisi buruh-lah?. Padahal sastra ya sastra. Puisi ya puisi. Ketika kita membaca karya sastra, tanpa harus diselingkuhkan dengan pop, atau popular, atau membaca puisi tanpa perlu diselingkuhkan dengan buruh, yang hadir adalah karya sastra dan karya puisi.
 
O, pendapat Anda ini mirip pernyataan Sutardji saat membebaskan kata lewat kredonya itu, kataku.
 
Maksudku sastra adalah sastra, puisi adalah puisi, tanpa perlu perselingkuhan, kata sang pengagung sastra yang moralis itu. “Aku malah setuju dengan Saman-nya Ayu Utami atau Supernova-nya Dee sebagai karya sastra. Novelnya itu tak diselingkuhkan dengan istilah lainnya,” katanya lagi.
 
Tapi bukankah ada perselingkuhan lain dalam mencuatkan kedua novel itu menjadi best seller, tanyaku.
 
“Maksud Bung?” tanya sang pengagung sastra yang moralis.
Aku malah kaget, sejak tadi, baru kali ini dia tak bisa menangkap maksudku.
 
“Maksudku, perselingkuhan dalam memasarkannya. Penerbitnya melakukan promosi gencar, mirip yang dilakukan produk-produk sektor riil maupun perbankan. Diduga, akibat perselingkuhan dengan promosi inilah, masyarakat kita tertarik untuk membeli buku itu, sehingga best seller,” kataku menjelaskan.
“Ah, itu kan taktik dagang,” jawabnya pendek.
 
Sang pengagung sastra yang moralis itu kembali meneguk birnya.
Karya sastra itu mencapai titiknya menjadi sebuah karya pada saat sang sastrawan menyelesaikan tulisannya. Jika sudah masuk ke penerbit, tentu saja sebagai pedagang sang penerbit akan memanfaatkan benar prinsip ekonomi. Setiap sen uang yang keluar harus kembali lagi berlipat ganda. Masalah perselingkuhannya sudah lain. Malah hal ini merupakan kebaruan dalam memasarkan karya sastra, tak lagi menjadi hiasan atau pajangan di kaca etalase toko buku bertahun-tahun sehingga menjadi bulukan, kata sang pengagung sastra yang moralis itu.
 
“Aku setuju perselingkuhan sastra dengan aktivitas ekonomi saat diterbitkan. Pasalnya, masyarakat kita ini sudah lama terdidik untuk tak membaca sastra. Dan masyarakat kita sudah lama terdidik oleh serangan-serangan iklan atau promosi yang menerjang kehidupannya setiap waktu. Dan semua itu merupakan aktivitas ekonomi. Tanpa buku sastra laku, bagaimana sastrawan dapat honorarium tulisannya yang memadai? Kapan sastrawan bisa kaya? Kapan sastrawan bisa pakai mobil setara BMW? Sementara tanpa membaca, begitu mudahnya mendapatkan uang jutaan rupiah hanya menebak pertanyaan tolol dengan jawaban paling gampang yang disajikan media audio maupun audiovisual. Quiz-quiz dengan pertanyaan tolol itu merupakan serangan iklan atas produk-produk sang pengiklan terhadap masyarakat luas. Mengapa karya sastra tak boleh memanfaatkan taktik dagang model menyerang masyarakatnya dengan promosi dan iklan gencar?” kata sang pengagung sastra yang moralis itu berbusa-busa. Entah busa dari liurnya, entah pula busa sisa dari birnya tadi.
 
“Tunggu. Kata Anda sastrawan kapan bisa punya mobil BMW. Apa Anda pikir sastrawan itu berpaham kapitalis juga?” tukasku.
 
“Lha, menurut Anda sastrawan itu bagaimana? Apa harus kurus kerempeng karena kelaparan? Gondrong awut-awutan karena tak sanggup mencukur rambutnya? Bajunya koyak moyak, karena tak sanggup beli baju lagi? Yang begitu sastrawan? No. Seyogianya sastrawan tak begitu. Sastrawan adalah orang yang sudah mengambil keputusan dalam jalan hidupnya bahwa sastra menjadi profesinya. Namun profesi itu jika tak dihargai, kapan sastrawan akan makmur? Jika buku karya sastrawan itu tak laku-laku, niscaya sastrawan itu lebih melarat daripada buruh pabrik,” kata sang pengagung sastra yang moralis itu.
 
Aku menghirup rokokku yang hampir memuntung itu. Asapnya menerkam paru-paruku, dan kemudian kuembuskan lagi keluar.
 
“Ya, aku setuju karya sastra berselingkuh dengan aktivitas ekonomi manakala mengharapkan jaring pembaca yang luas, sehingga kuantitas penjualan meningkat, dan royalti sastrawan bertambah banyak. Dampaknya, sastrawan akan hidup layak sebagaimana manusia berprofesi lain. Dan, diharapkan akan melahirkan karya-karya sastra lainnya yang berkualitas,” kata sang pengagung sastra yang moralis itu.
Aku diam dan kemudian mematikan puntung rokokku.
***

Jakarta, Desember 2002.  http://sastra-indonesia.com/2010/06/sastra-selingkuh-itu-enak-dibaca-dan-perlu/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

A Anzieb A. Khoirul Anam A. Muhaimin Iskandar A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Rodhi Murtadho A.H. J Khuzaini A.S Laksana Aa Sudirman Abdul Kirno Tanda Abdurrahman Wahid Acep Iwan Saidi Achiar M Permana Addi Mawahibun Idhom Adhi Pandoyo Adi W. Gunawan Afrion Afriza Hanifa Afrizal Malna Agama Para Bajingan Aguk Irawan MN Agung Poku Agus Buchori Agus Mulyadi Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Setiawan Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wahyudi Agusri Junaidi AH J Khuzaini Ahmad Baso Ahmad Dahri Ahmad Farid Yahya Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Munjin Ahmad Naufel Ahmad Rifa’i Rif’an Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadul Faqih Mahfudz Ahmadun Yosi Herfanda Akhlis Purnomo Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akhudiat Albert Camus Alfathri Adlin Alfian Dippahatang Ali Audah Alim Bakhtiar Alimuddin Amelia Rachman Amie Williams Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin An. Ismanto Andhi Setyo Wibowo Andik Suprihartono Andri Awan Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Antologi Sastra Lamongan Anton Wahyudi Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia Arafat Nur Ari Welianto Arief Rachman Hakim Arif Hidayat Arif Saifudin Yudistira Arman A.Z. Arsyad Indradi Arti Bumi Intaran Asarpin Asep Dudinov Ar Atafras Awalludin GD Mualif Ayu Nuzul Bahrum Rangkuti Beni Setia Benni Setiawan Benny Benke Berita Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bonardo Maulana Wahono Bre Redana Budi Darma Budiman Hakim Buku Bung Hatta Bustan Basir Maras Butet Kertaredjasa Candrakirana Capres Cawapres 2019 Catatan Cerpen Chairil Anwar CNN Indonesia Coronavirus COVID-19 Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahlan Iskan Dahlan Kong Damiri Mahmud Danarto Daniel Dhakidae Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewi Satika Dian R. Basuki Dian Sukarno Dian Tri Lestari Dien Makmur Din Saja Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Diponegoro Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Doddy Hidayatullah Dodit Setiawan Santoso Dody Yan Masfa Donny Anggoro Donny Darmawan Doris Lessing Dr. Hilma Rosyida Ahmad Dwi Pranoto Dyah Ayu Fitriana Edisi Khusus Edy A Effendi Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendri Saiful Eko Prasetyo Eko Tunas Ekwan Wiratno el-Ha Abdillah Enny Arrow Erdogan Esai Esthi Maharani Estiana Arifin Evi Melyati F. Budi Hardiman F. Rahardi Fahmi Faqih Fahri Salam Faisal Kamandobat Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Feby Indirani Felix K. Nesi Festival Gugur Gunung Forum Santri Nasional Frischa Aswarini Fuad Mardhatillah UY Tiba Fuad Nawawi Galeri Sonobudoyo Galuh Tulus Utama Gampang Prawoto Geger Riyanto Geguritan Goenawan Mohammad Gola Gong Grathia Pitaloka Gugun el-Guyanie Gus Ahmad Syauqi Gus Dur Gusti Eka Habib Syech bin Abdul Qodir Assegaf Halim HD Hamdy Salad Hamid Jabbar Hamka Hamzah al-Fansuri Hari Puisi Indonesia (HPI) Harris Maulana Hasan Basri Hasnan Bachtiar Herry Fitriadi Herta Muller Heru Kurniawan Hesti Sartika Hilmi Abedillah Hudan Hidayat IAI TABAH Ibnu Wahyudi Idrus Efendi Ignas Kleden Iis Narahmalia Imam Jazuli Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Inung As Irfan Afifi Irwan Kelana Isbedy Stiawan Z.S. Iwan Simatupang Jafar Fakhrurozi Jajang R Kawentar Jalaluddin Rakhmat Jawa dan Islam JJ. Kusni Jo Batara Surya Joni Ariadinata Jordaidan Rizsyah Jual Buku Paket Hemat Jurnalisme Sastra K.H. Ma'ruf Amin Kadek Suartaya Kadjie MM Kalis Mardiasih Kanti W. Janis Karang Taruna Kedungrejo Katrin Bandel Kedai Kopi Sastra Kedung Darma Romansha Kedungrejo Muncar Banyuwangi Kemah Budaya Panturan (KBP) Kembulan KetemuBuku Jombang KH. M. Najib Muhammad KH. Muhammad Amin (1910-1949) Khairul Mufid Jr Khawas Auskarni Ki Ompong Sudarsono Kitab Arbain Nawawi Kitab Kelamin Kompas TV Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Buana Kasih Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Perupa Lamongan (KOSPELA) Komunitas Sastra dan Teater Lamongan Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Komunitas Selapan Sastra Kopi Bubuk Mbok Djum Kostela KPRI IKMAL Lamongan Kritik Sastra Kumpulan Cerita Buntak Kuswaidi Syafi’ie L Ridwan Muljosudarmo L.K. Ara Lagu Laksmi Shitaresmi Lan Fang Launching Buku Launching dan Bedah Buku Lawi Ibung Linda S Priyatna Literasi Liza Wahyuninto Lona Olavia Lukisan Lukman Santoso Az M. Faizi M. Lutfi M. Raudah Jambak M.D. Atmaja Maduretna Menali Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maimun Zubair Maiyah Banyuwangi Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Manneke Budiman Maratushsholihah Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Mariana Sitohang Mario Vargas Llosa Marsel Robot Mas Garendi Mashuri Massayu Masuki M. Astro Max Arifin Media Seputar Indonesia Mei Anjar Wintolo Melukis Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggalang Dana Amal MG. Sungatno Mianto Nugroho Agung Mien Uno Miftachur Rozak Mihar Harahap Mochtar Lubis Moh. Husen Moh. Jauhar al-Hakimi Moh. Syafari Firdaus Mohamad Sobary Mohammad Rokib Mohammad Wildan Motinggo Busye Muafiqul Khalid MD Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Alfatih Suryadilaga Muhammad Alimudin Muhammad Anta Kusuma Muhammad Marzuki Muhammad Muhibbuddin Muhammad N. Hassan Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammad Yunus Muhidin M. Dahlan Mukhsin Amar Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Munawir Aziz Mutia Sukma N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Ndix Endik Nenden Lilis A Nezar Patria Ni Made Purnama Sari Ninin Damayanti NKRI Nur Taufik Nurel Javissyarqi Nurul Komariyah Obrolan Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Orhan Pamuk Pagelaran Musim Tandur Palestina Palupi Panca Astuti Pameran Lukisan Parimono V / 40 Plandi Jombang Pawon Seni PDS H.B. Jassin Pekan Literasi Lamongan Pelukis Tarmuzie Pendhapa Art Space Pendidikan Penerbit Pelangi Sastra Pengajian Pipiet Senja Politik Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang Pramoedya Ananta Toer Presiden Jokowi Proses Kreatif Puisi Puisi Menolak Korupsi (PMK) Pungkit Wijaya Pusat Studi Budaya Banyuwangi (PSBB) Pustaka LaBRAK Putu Fajar Arcana R Giryadi R. Ng. Ronggowarsito Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rakai Lukman Rakhmat Nur Hakim Rani R. Moediarta Raudal Tanjung Banua Raudlotul Immaroh Reiny Dwinanda Remy Syaldo Remy Sylado Rendy Adrikni Sadikin Resensi Reuni dan Halal Bihalal Mts Putra-Putri Simo 1991-1992 Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Antoni Riki Dhamparan Putra Rimbun Natamarga Rinto Andriono Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Romel Masykuri Nur Arifin Ronny Agustinus Rosi Rosihan Anwar Rosmawaty Harahap Roy Kusuma Rumah Budaya Pantura (RBP) Rx King Motor S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sainul Hermawan Sajak Salman Faris Sandiaga Uno Sanggar Lukis Alam Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang Sanusi Pane Sapardi Djoko Damono Saripuddin Lubis Sasti Gotama Saut Situmorang Saya Sayyid Muhammad Hadi Assegaf Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSAstra Boenga Ketjil Seni Gumira Ajidarma Seni Rupa Seno Joko Suyono Setia Budhi Shiny.ane el’poesya Shofa As-Syadzili Sholihul Huda Shulhan Hadi Sihar Ramses Simatupang Siti Aisyatul Adawiyah Siwi Dwi Saputro Soediro Satoto Soeparno S. Adhy Soesilo Toer Soetanto Soepiadhy Sofyan RH. Zaid Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad STKIP PGRI Ponorogo Subagio Sastrowardoyo Suminto A. Sayuti Sunardian Wirodono Sunlie Thomas Alexander Sunoto Sunu Wasono Sunudyantoro Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syahrudin Attar Syaifuddin Gani Syaikh Prof. Dr. dr. Yusri Abdul Jabbar al-Hasani Asyadzili Syaikh Yusri al-Hasani Al Azhari Taman Ismail Marzuki Taufiq Wr. Hidayat Teater Ilat Teguh Afandi Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Tere Liye Toko Buku PUstaka puJAngga Lamongan Tri Wahono TS Pinang Tsani Fanie Tulus S Udo Z. Karzi Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Jember Untung Wahyudi Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Virdika Rizky Utama W.S. Rendra Wage Daksinarga Wahyu Aji Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Widie Nurmahmudy Yanuar Widodo Yanusa Nugroho Yerusalem Yetti A. KA Yohanes Padmo Adi Nugroho Yohanes Sehandi Yoks Kalachakra Yonathan Rahardjo Yuditeha Yusri Fajar Yuval Noah Harari Zainal Arifin Thoha Zehan Zareez Zuhdi Swt Zulfikar Akbar