Sabtu, 07 Agustus 2021

CAMUS DIBUNUH KEMBALI DI ATAS PANGGUNG

Ekwan Wiratno *
 
Di tengah jalanan yang membeku pada tanggal 4 Januari 1960, sebuah mobil Facel Vega tergelincir dan menabrak sebuah pohon (Willsher, 2011). Kecelakaan itu merenggut nyawa seorang filosof dan sastrawan besar, Albert Camus. Tahun itu hanya berjarak dua tahun saja setelah Camus memenangkan penghargaan Nobel Sastra. Maka secara fakta, Camus telah meninggal sejak itu.
 
Sebagai seorang filosof dan sastrawan, Camus sejatinya tidak benar-benar mati sebab buah pikir dan karyanya terus diperbincangkan, sehingga sebuah dialog imajinatif dengan Camus terus berjalan sampai kapanpun. Sehingga tak terlalu tepat bahwa kita sebut Camus benar-benar telah meninggal.
 
Tapi pada pertunjukan Teater Ego (Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Brawijaya), pada tanggal 18 November 2018, Camus telah dibunuh. Mungkin dapat dikatakan bahwa mayatnyapun telah dikubur dalam-dalam dan sama sekali tak diingat.
***
 
Pembunuhan Albert Camus, sejatinya adalah pembunuhan gagasan. Naskah Caligula, yang dianggap merupakan salah satu naskah yang mampu merumuskan konsep absurditas Camus, menjadi kerontang ketika dipentaskan Teater Ego. Kedalaman cerita dan ide-ide hanya disampaikan secara parsial dan cenderung terfragmentasi. Naskah yang ditulis Albert Camus pada tahun 1938 tetapi baru dipublikasikan pada tahun 1944 tersebut sebenarnya menyimpan demikian banyak ide-ide absurditas dan eksistensialisme (bersama dengan novel The Stranger, dan kumpulan esainya The Myth of Sisyphus).
 
Apa yang disajikan dalam panggung malam itu terkesan serampangan. Pembacaan terhadap naskah tersebut terasa tidak tuntas sehingga mengakibatkan ide yang tersimpan dalam naskah menjadi hanya dapat diulik pada lapis terluar. Padahal, absurditas seringkali membutuhkan pembedahan berlapis-lapis untuk mampu menggali ide secara komprehensif.
 
Pertunjukan tersebut berlangsung sekitar satu jam dan hanya menyajikan potongan-potongan adegan yang disusun secara “kasar” sehingga tidak menghadirkan kesatuan pertunjukan. Aktor-aktor masih bersifat mekanis dan seringkali lepas dari karakter yang dibangun. Belum lagi persoalan teknis-strategis yang seringkali memperburuk kondisi pertunjukan. Secara perlahan akan kita uraikan satu-persatu.
***
 
Secara singkat naskah Caligula menyediakan pergulatan jiwa-nilai seorang Caligula. Sepeninggal adiknya, Drusilla, yang begitu disayanginya, Caligula menyimpulkan bahwa dunia sama sekali tidak memuaskan. Dia menantang persahabatan dan cinta, solidaritas manusia umum, baik dan jahat. Sampai pada akhirnya  dia melanggar semua tatanan nilai.
 
Camus menganggap bahwa “Caligula adalah kisah bunuh diri yang mulia.” Caligula menerima kematian karena dia mengerti bahwa tidak ada seorang pun yang dapat menyelamatkan dirinya sendiri dan orang itu tidak bisa bebas dengan mengorbankan orang lain.
***
 
“Caligula merupakan drama aktor dan sutradara,” demikian tulis Camus dalam pengantar kumpulan naskahnya (Camus, 1958). Artinya proses kreatif dalam menyiapkan pertunjukan naskah Caligula merupakan pekerjaan rumah beberapa pihak sekaligus. Sutradara, sebagai pihak yang paling bertanggungjawab dalam sebuah pertunjukan, harus mampu memberikan dorongan bagi timnya untuk mampu memahami naskah dan konsep pertunjukan. Sementara aktor, sebagai ujung tombak, harus demikian menguasai konten dan Teknik penyampaian. Apabila ditilik dari kedalaman ide yang harus disampaikan, maka beban seorang sutradara dan aktor menjadi kunci.
 
Apa yang terjadi di panggung Teater Ego menunjukkan kelemahan keduanya. Sutradara menyusun pertunjukan dalam bagian-bagian yang tak menyatu dan cenderung menghadirkan akrobat-akrobat saja. Adegan disusun berdasarkan alur yang minimalis (saya curiga ini akibat pemotongan serampangan pada naskah). Miskinnya alur tersebut mengakibatkan kedalaman intrik dan faktor-faktor pendukung absurditas Caligula menjadi hampir hilang sepenuhnya. Secara umum memang dapat ditangkap apa yag dilakukan Caligula, tetapi motif dan kedalaman pergulatan eksistensialisnya tidak nampak.
 
Aktor juga tidak mampu merumuskan absurditas secara utuh. Aktor masih bersifat mekanis dan menuruti arahan sutradara secara berlebihan. Aktor bergerak tanpa dorongan yang cukup kuat sehingga kental sekali kesan bahwa aktor bergerak atas formasi yang jelas telah ditentukan oleh sutradara. Hal ini menunjukkan bahwa peran aktor minim sekali. Tokoh Caligula, yang kehadirannya adalah salah satu kunci, hanya menunjukkan akrobat bak sebuah sirkus. Aktor menyajikan gerak-gerak yang tidak berenergi dan seringkali terlihat dengan jelas kelelahan di dalamnya. Hal ini umumnya terjadi akibat latihan aktor kurang intensif dalam menguasai gerak semacam itu.
 
Sementara aktor-aktor lain menunjukkan kondisi yang lebih buruk lagi. Konsep pemunculan aktor secara tradisi memang menarik, tapi cenderung menghabiskan waktu. Ritme yang dibangun dalam sebuah adegan kemudian pudar setelah menunggu aktor berpindah dari “ruang tunggu” ke panggung. Aktor-aktor menujukkan mata yang kosong tanpa tujuan dalam bergerak. Hal ini mudah sekali diamati.
 
Persoalan lain adalah panggung yang cenderung dua dimensi. Panggung memang dikelilingi oleh tempat penonton yang berbentuk tapal kuda, tapi teknik gerak dan blocking aktor masih dua dimensi. Aktor-aktor tidak mampu memuaskan segala sisi. Belum lagi kelemahan penataan cahaya yang semakin membenarkan kesan dua dimensi tersebut. Sumber cahaya hanya satu sudut saja, yaitu di depan panggung. Kondisi seperti itu mengurangi kemampuan penonton dalam menonton secara lebih utuh. Hal tersebut diperparah dengan keberadaan kursi yang cenderung minor. Kursi, sebagai sebuah representasi kekuasaan Caligula, hanya dibuat dari kayu yang ringkih dan mungil. Apabila dibandingkan dengan aktor dan property atau set lain maka keberadaan kursi menjadi tidak terlalu menonjol. Ini tentu sebuah kerugian.
***
 
Maka tidak berlebihan untuk mengatakan bahwa Camus telah kembali mati. Bahkan dibunuh ditengah keterbatasan kemampuan dan kemampuan mahasiswa dalam literasi. Di tengah miskinnya referensi dan kemauan untuk menggali kemungkinan-kemungkinan pemanggungan. Itulah sialnya Camus.
 
Sebagai sebuah pertunjukan teater, Pementasan Teater Ego hanyalah sebuah pameran etalase dan akrobat. Dimana unsur-unsur pertunjukan ditempel di panggung tanpa benang merah yang memikat.
 
Tapi, keberanian dan keinginan untuk menggarap naskah yang demikian bagus dan berbobot selayaknya mendapatkan apresiasi. Tentu apresiasi tersebut tidak berlebihan di tengah kemalasan membaca literature yang bersifat filosofis dan rendahnya kualitas naskah karya komunitas sendiri. Semoga semakin banyak pertunjukan teater, terutama teater mahasiswa, yang tertantang untuk menggunakan referensi-referensi yang jauh lebih berbobot. Dan tentu saja, dengan kemampuan literasi dan kemampuan pemanggungan yang lebih mumpuni. Semoga harapan ini tidak berhenti sebagai harapan.
***
 
Referensi:
 
Kim Willsher. 2011. Albert Camus might have been killed by the KGB for criticising the Soviet Union, claims newspaper. https://www.theguardian.com/books/2011/aug/07/albert-camus-killed-by-kgb
Albert Camus. 1958. Caligula & Three Other Play. Vintage Books. New York.

*) Penulis dan sutradara teater, mendalami teater sejak sekolah menengah, telah menghasilkan belasan pertunjukan, puluhan naskah lakon dan belasan kritik dan wacana teater. Penulis membuka diskusi secara terbuka terkait dunia teater melalui media sosial dengan nama yang sama. http://sastra-indonesia.com/2021/08/camus-dibunuh-kembali-di-atas-panggung/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

A Anzieb A. Khoirul Anam A. Muhaimin Iskandar A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Rodhi Murtadho A.H. J Khuzaini A.S Laksana Aa Sudirman Abdul Kirno Tanda Abdurrahman Wahid Acep Iwan Saidi Achiar M Permana Addi Mawahibun Idhom Adhi Pandoyo Adi W. Gunawan Afrion Afriza Hanifa Afrizal Malna Agama Para Bajingan Aguk Irawan MN Agung Poku Agus Buchori Agus Mulyadi Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Setiawan Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wahyudi Agusri Junaidi AH J Khuzaini Ahmad Baso Ahmad Dahri Ahmad Farid Yahya Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Munjin Ahmad Naufel Ahmad Rifa’i Rif’an Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadul Faqih Mahfudz Ahmadun Yosi Herfanda Akhlis Purnomo Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akhudiat Albert Camus Alfathri Adlin Alfian Dippahatang Ali Audah Alim Bakhtiar Alimuddin Amelia Rachman Amie Williams Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin An. Ismanto Andhi Setyo Wibowo Andik Suprihartono Andri Awan Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Antologi Sastra Lamongan Anton Wahyudi Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia Arafat Nur Ari Welianto Arief Rachman Hakim Arif Hidayat Arif Saifudin Yudistira Arman A.Z. Arsyad Indradi Arti Bumi Intaran Asarpin Asep Dudinov Ar Atafras Awalludin GD Mualif Ayu Nuzul Bahrum Rangkuti Beni Setia Benni Setiawan Benny Benke Berita Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bonardo Maulana Wahono Bre Redana Budi Darma Budiman Hakim Buku Bung Hatta Bustan Basir Maras Butet Kertaredjasa Candrakirana Capres Cawapres 2019 Catatan Cerpen Chairil Anwar CNN Indonesia Coronavirus COVID-19 Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahlan Iskan Dahlan Kong Damiri Mahmud Danarto Daniel Dhakidae Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewi Satika Dian R. Basuki Dian Sukarno Dian Tri Lestari Dien Makmur Din Saja Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Diponegoro Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Doddy Hidayatullah Dodit Setiawan Santoso Dody Yan Masfa Donny Anggoro Donny Darmawan Doris Lessing Dr. Hilma Rosyida Ahmad Dwi Pranoto Dyah Ayu Fitriana Edisi Khusus Edy A Effendi Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendri Saiful Eko Prasetyo Eko Tunas Ekwan Wiratno el-Ha Abdillah Enny Arrow Erdogan Esai Esthi Maharani Estiana Arifin Evi Melyati F. Budi Hardiman F. Rahardi Fahmi Faqih Fahri Salam Faisal Kamandobat Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Feby Indirani Felix K. Nesi Festival Gugur Gunung Forum Santri Nasional Frischa Aswarini Fuad Mardhatillah UY Tiba Fuad Nawawi Galeri Sonobudoyo Galuh Tulus Utama Gampang Prawoto Geger Riyanto Geguritan Goenawan Mohammad Gola Gong Grathia Pitaloka Gugun el-Guyanie Gus Ahmad Syauqi Gus Dur Gusti Eka Habib Syech bin Abdul Qodir Assegaf Halim HD Hamdy Salad Hamid Jabbar Hamka Hamzah al-Fansuri Hari Puisi Indonesia (HPI) Harris Maulana Hasan Basri Hasnan Bachtiar Herry Fitriadi Herta Muller Heru Kurniawan Hesti Sartika Hilmi Abedillah Hudan Hidayat IAI TABAH Ibnu Wahyudi Idrus Efendi Ignas Kleden Iis Narahmalia Imam Jazuli Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Inung As Irfan Afifi Irwan Kelana Isbedy Stiawan Z.S. Iwan Simatupang Jafar Fakhrurozi Jajang R Kawentar Jalaluddin Rakhmat Jawa dan Islam JJ. Kusni Jo Batara Surya Joni Ariadinata Jordaidan Rizsyah Jual Buku Paket Hemat Jurnalisme Sastra K.H. Ma'ruf Amin Kadek Suartaya Kadjie MM Kalis Mardiasih Kanti W. Janis Karang Taruna Kedungrejo Katrin Bandel Kedai Kopi Sastra Kedung Darma Romansha Kedungrejo Muncar Banyuwangi Kemah Budaya Panturan (KBP) Kembulan KetemuBuku Jombang KH. M. Najib Muhammad KH. Muhammad Amin (1910-1949) Khairul Mufid Jr Khawas Auskarni Ki Ompong Sudarsono Kitab Arbain Nawawi Kitab Kelamin Kompas TV Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Buana Kasih Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Perupa Lamongan (KOSPELA) Komunitas Sastra dan Teater Lamongan Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Komunitas Selapan Sastra Kopi Bubuk Mbok Djum Kostela KPRI IKMAL Lamongan Kritik Sastra Kumpulan Cerita Buntak Kuswaidi Syafi’ie L Ridwan Muljosudarmo L.K. Ara Lagu Laksmi Shitaresmi Lan Fang Launching Buku Launching dan Bedah Buku Lawi Ibung Linda S Priyatna Literasi Liza Wahyuninto Lona Olavia Lukisan Lukman Santoso Az M. Faizi M. Lutfi M. Raudah Jambak M.D. Atmaja Maduretna Menali Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maimun Zubair Maiyah Banyuwangi Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Manneke Budiman Maratushsholihah Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Mariana Sitohang Mario Vargas Llosa Marsel Robot Mas Garendi Mashuri Massayu Masuki M. Astro Max Arifin Media Seputar Indonesia Mei Anjar Wintolo Melukis Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggalang Dana Amal MG. Sungatno Mianto Nugroho Agung Mien Uno Miftachur Rozak Mihar Harahap Mochtar Lubis Moh. Husen Moh. Jauhar al-Hakimi Moh. Syafari Firdaus Mohamad Sobary Mohammad Rokib Mohammad Wildan Motinggo Busye Muafiqul Khalid MD Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Alfatih Suryadilaga Muhammad Alimudin Muhammad Anta Kusuma Muhammad Marzuki Muhammad Muhibbuddin Muhammad N. Hassan Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammad Yunus Muhidin M. Dahlan Mukhsin Amar Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Munawir Aziz Mutia Sukma N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Ndix Endik Nenden Lilis A Nezar Patria Ni Made Purnama Sari Ninin Damayanti NKRI Nur Taufik Nurel Javissyarqi Nurul Komariyah Obrolan Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Orhan Pamuk Pagelaran Musim Tandur Palestina Palupi Panca Astuti Pameran Lukisan Parimono V / 40 Plandi Jombang Pawon Seni PDS H.B. Jassin Pekan Literasi Lamongan Pelukis Tarmuzie Pendhapa Art Space Pendidikan Penerbit Pelangi Sastra Pengajian Pipiet Senja Politik Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang Pramoedya Ananta Toer Presiden Jokowi Proses Kreatif Puisi Puisi Menolak Korupsi (PMK) Pungkit Wijaya Pusat Studi Budaya Banyuwangi (PSBB) Pustaka LaBRAK Putu Fajar Arcana R Giryadi R. Ng. Ronggowarsito Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rakai Lukman Rakhmat Nur Hakim Rani R. Moediarta Raudal Tanjung Banua Raudlotul Immaroh Reiny Dwinanda Remy Syaldo Remy Sylado Rendy Adrikni Sadikin Resensi Reuni dan Halal Bihalal Mts Putra-Putri Simo 1991-1992 Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Antoni Riki Dhamparan Putra Rimbun Natamarga Rinto Andriono Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Romel Masykuri Nur Arifin Ronny Agustinus Rosi Rosihan Anwar Rosmawaty Harahap Roy Kusuma Rumah Budaya Pantura (RBP) Rx King Motor S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sainul Hermawan Sajak Salman Faris Sandiaga Uno Sanggar Lukis Alam Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang Sanusi Pane Sapardi Djoko Damono Saripuddin Lubis Sasti Gotama Saut Situmorang Saya Sayyid Muhammad Hadi Assegaf Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSAstra Boenga Ketjil Seni Gumira Ajidarma Seni Rupa Seno Joko Suyono Setia Budhi Shiny.ane el’poesya Shofa As-Syadzili Sholihul Huda Shulhan Hadi Sihar Ramses Simatupang Siti Aisyatul Adawiyah Siwi Dwi Saputro Soediro Satoto Soeparno S. Adhy Soesilo Toer Soetanto Soepiadhy Sofyan RH. Zaid Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad STKIP PGRI Ponorogo Subagio Sastrowardoyo Suminto A. Sayuti Sunardian Wirodono Sunlie Thomas Alexander Sunoto Sunu Wasono Sunudyantoro Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syahrudin Attar Syaifuddin Gani Syaikh Prof. Dr. dr. Yusri Abdul Jabbar al-Hasani Asyadzili Syaikh Yusri al-Hasani Al Azhari Taman Ismail Marzuki Taufiq Wr. Hidayat Teater Ilat Teguh Afandi Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Tere Liye Toko Buku PUstaka puJAngga Lamongan Tri Wahono TS Pinang Tsani Fanie Tulus S Udo Z. Karzi Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Jember Untung Wahyudi Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Virdika Rizky Utama W.S. Rendra Wage Daksinarga Wahyu Aji Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Widie Nurmahmudy Yanuar Widodo Yanusa Nugroho Yerusalem Yetti A. KA Yohanes Padmo Adi Nugroho Yohanes Sehandi Yoks Kalachakra Yonathan Rahardjo Yuditeha Yusri Fajar Yuval Noah Harari Zainal Arifin Thoha Zehan Zareez Zuhdi Swt Zulfikar Akbar