Kamis, 12 Agustus 2021

Ekspresi Puitis Aceh Menghadapi Musibah

L.K. Ara
majalah.tempointeraktif.com
 
Wo wo wo Redines Lukup Sabun ku ine”. Baris ini merupakan pembuka nyanyian To’et dalam puisi yang berjudul Redines. Puisi ini menggambarkan tanah longsor di daerah perkebunan Lukup Sabun di dataran tinggi Gayo, Kabupaten Aceh Tengah. Digambarkan dalam puisi itu air tiba-tiba tercurah dengan deras lalu meluluh-lantakkan sekitar. Rumah-rumah roboh dan kebun kopi hancur. Dilukiskan juga secara detail bagaimana seorang petani Lukup Sabun ketika pulang dari kota terkejut menyaksikan bencana yang terjadi. Rumahnya hanyut, keluarga meninggal. Isyarat ini rupanya telah tergambar dalam mimpinya. Ia bersama istri naik perahu mengenakan kain putih lalu mendayung dan berputar-putar.
 
Penyair To’et mendendangkan puisi ini dalam bentuk seni didong, sebuah bentuk kesenian tradisi daerah Gayo. Dengan suara yang merdu penyair kelahiran Kampong Gelelungi ini menangis panjang ketika membawakan nyanyiannya. Begitu bait demi bait diluncurkan dalam tangis kesedihan. Tapi, begitu tiba pada refren yang dalam kesenian didong didendangkan banyak orang, suasana beralih sedikit pada suasana agak riang.
 
To’et mempunyai tradisi yang dilakonkan sendiri ketika itu: menyanyikan puisinya dari rumah ke rumah. Gambaran bencana dilukiskan dengan ekspresi yang khas, To’et menggerakkan tangan, melenggokkan badan dari kampung ke kampung. Dalam suatu kesempatan penyair berbadan kecil ini menyanyikan pula puisinya di Jakarta. Seperti yang dilakonkan, di kampung di Jakarta pun ia mentas dari rumah ke rumah. Begitulah ia berdendang di rumah penyair Rendra, Taufik Ismail, Putu Wijaya, Arifin C. Noer.
 
Sesuatu yang agak khas pula pada To’et dalam berdendang, ia tak membawa alat musik apa pun. Begitulah sekali waktu ketika akan tampil di rumah Aristides Katoppo, Teguh Karya yang menemani bertanya mengapa ia tak memakai alat musik. Mendengar itu To’et meluncur ke ruang dapur. Ia muncul kembali dengan piring, baskom, sendok, dan gelas. Ketika berdendang To’et menggunakan “instrumen” yang baru dibawanya tadi. Kemudian setelah beberapa minggu mentas di Jakarta ada orang bermurah hati kepadanya memberikan hadiah akordion tua.
 
Ekspresi puitis Aceh yang ditampilkan To’et tentang bencana alam sebenarnya sudah lebih awal diberi semacam isyarat bahwa hutan jangan digunduli oleh penyair Sali Gobal. Dalam puisinya berjudul Hutan (Uten) penyair kelahiran Kampong Kung ini menggambarkan suasana hutan. “Jatuh cabang rapuh pergi dilarikan badai/terhempas rubuh ke bumi yang rapuh patah dan patah” (detak cabang si rapuh beluh I sangkanan bade/berempas tanyor ku bumi si meri nge berpoloken).
 
Simbol kehidupan manusia yang putus hubungan dengan keluarga lainnya digambarkan dengan amat sederhana namun indah. Tergambar bagaimana kalau badai datang pohon tercerabut dari akarnya.
 
gempa menggoncang kayu perdu uyet e rengang retep jantan si kaul genyur jadi pempungen donya menaos lagu atu taring pengalang bujur batang ari perdu deru eluh kin sapunen (Gempa menggoncang akar perdu pun renggang putus akar besar terbujur jadi tunggul dunia mencipta lakon batu jadi penghalang terbujur pohonan tinggal tangisan)
 
Selain pada seni didong, ekspresi puitis Aceh masih dapat ditemukan pada seni syair. Di daerah Gayo seni syair juga cukup berkembang meski tak seluas seni didong. Dalam seni syair yang biasa diungkapkah hal-hal berkenaan dengan agama Islam, riwayat Nabi dan para sahabat dan juga tema budi.
 
Penyair religius Tgk Chalidin, yang juga seorang guru agama, menulis puisi tentang bencana alam gempa. Dalam puisi Gempa penyair bercerita tentang bagaimana bumi berguncang bila gempa datang. Bumi dan tanahnya berguncang, alam seperti begoyang, semua jadi hiruk-pikuk. Gunung dan tebing beradu terantuk-antuk. Penyair melukiskan peringatan Tuhan seperti ini sudah sering terjadi untuk menguji iman semua makhluk. Agar hati bersih di dalam badan agar jangan bercampur yang halal dan tak halal. “Allah ya Tuhanku Halikul Malik/tanah bergoncang dengan kuasa Mu bergoncang”. Gempa mengguncang menguji hati hamba, dan sang makhluk kini berbalik kepada Tuhan. Bila bumi berguncang dan berguncang, lalu cepat-cepat salat, lalu teringat akan perilaku yang tak baik. Sementara itu, alam baka tampak sudah semakin dekat dan telah terbayang kuburan sudah digali.
 
Pada 1999 penyair Din Saja yang juga pekerja seni menggambarkan Serambi Mekah sebagai negeri yang kehilangan kapal. Negeri yang penduduknya kehilangan rasa. Orang-orangnya saling silang sengketa dan nyawa manusia tidak ada nilainya. Din Saja menggambarkan lebih jauh negeri Aceh kehilangan nakhoda. Dan untuk sebuah negeri itu tentu sangat memilukan. Kata sang penyair, “Aceh kehilangan jiwa/memandang Aceh/terbayang manusia/kehilangan harga”.
 
Nestapa yang berkepanjangan di Aceh juga digambarkan penyair wanita D. Kemalawati dalam puisinya Kelu II. Penyair kelahiran Meulaboh, Aceh Barat, ini menggambar orang-orang yang meratap atau memuja sudah tidak ada artinya lagi. Di tengah kegalauan dan ketidakpastian, langkah yang diayun pun tanpa arah lagi. “Semak dan pepohonan darah/penyair yang melawan amarah”. Kegalauan dan keadaan tak menentu ini digambarkannya pula dalam puisi Merajut Gundah Dalam Ribut Badai. Kata si penyair, “tangan terus merajut/benang tak kunjung terkait/badai terus gemuruh/riuh tak kunjung berhenti/karam/telah karam di pusaran”.
 
Penyair Maskirbi dalam puisinya Ulee Lheue menggambarkan tak bersahabatnya lagi alam dengan manusia. Pasir-pasir menjadi kering dan laut sering tak memberikan kenyamanan lagi. Laut telah berubah menjadi pencipta kegelisahan. Kata penyair yang kedua orang tuanya berasal dari Aceh Selatan ini, “melayari angin/di antara pepohonan bakau/di antara pasir-pasir kering/lautnya gebalau/tak ada lagi penyeberangan itu/dermaganya yang angkuh berkarat/seakan menenggelamkan pelabuhan/telah lenyap sebaris hikayat/dikubur ombak/lalu angin pun mabuk”.
 
Nestapa akibat perang digambarkan oleh penyair A.A. Manggeng dalam sejumlah puisinya. Salah satu berjudul Gejolak XXI yang melukiskan penduduk negeri seperti harus mencari tempat hunian baru sementara kampung halaman harus ditinggalkan. Dalam gaya bertanya penyair menyebut “apakah kami harus berangkat mencari alamat baru/sementara di tempat kelahiran/kalian pisahkan persaudaraan kami”. Bukankah anak-anak yang nanti kehilangan orang tua harus tumbuh. Mereka kelak dewasa dan harus belajar. Dan mereka akan “membuka buku sejarah bahwa orang tuanya dihabisi/oleh peluru yang dibeli/dari hasil keringat anak-anak negeri”. Akan lebih sedih lagi bila anak negeri harus pergi dan mengalah dari kebiadaban. Dan bila pergi akan “meninggalkan kebun-kebun airmata yang kami garap/bertahun-tahun lamanya”.
 
Nestapa seperti tak habis-habisnya menjadi tema untuk ekspresi puitis Aceh. Wiratmadinata pembaca puisi dan penyair menulis sejumlah puisi pula. Puisi Surat XIII menggambarkan kepedihan. Dalam gaya bertanya ia memulai baris puisinya dengan “apalagi yang harus aku serahkan/setelah segalanya/air mata, darah dan kepedihan/tak habis-habis/tak habis-habis/engkau meminta dan selalu kuserahkan/segala pengabdian segala kasih sayang/kesedihan untuk memberi dan berbagi/juga kesediaan untuk menerima/sekalipun ia bernama rasa sakit yang dalam”.
 
Namun apa yang terjadi setelah segalanya diberikan? Rasa sakit itulah yang terus menerus tak henti-henti dikirimkan. Semua yang telah diberikan itu seperti tak memuaskan. Malah tak merasa seperti berutang budi, sedikit rasa keadilan yang sederhana pun tak diberikan. Bahkan “secuil pengertian yang bersahaja/sekedar belas kasih yang menghamba”. Puisi ini ditutup penyair dengan gaya bertanya pula, “Indonesia/apa lagi yang harus aku berikan/setelah segalanya/setelah nyawa/setelah air mata/setelah darah/setelah kepedihan…”.
 
Pengalaman sebagai pekerja seni dan wartawan di Aceh ketika terjadi perlakuan tidak adil, penindasan, pemerkosaan dan pembunuhan serta kedekatan batin dengan masyarakat yang sedang menderita, penyair Fikar W. Eda melahirkan baris-baris yang pedih tapi juga mengandung protes. Puisi-puisi yang bertema perlawanan itu dapat dilihat pada Rencong, Biarkan Kami, Aceh, dan Seperti Belanda.
 
Dalam puisi Biarkan Kami, Aceh, Fikar mengedepankan agar mereka janganlah diganggu dengan hal-hal yang bertentangan dengan keinginan dan nurani. “Jangan paksa kami minum anggur/yang memabukkan ruh dan raga kami/ jangan paksa kami membangun tenda/ di tepi-tepi jurang menganga/ yang siap menelan kami lumat”.
 
Di bagian penutup puisi Biarkan Kami, Aceh Fikar dengan ketetapan hati ingin bebas merdeka menghirup udara. Dan dalam keadaan demikian dapat membina dan mencipta apa yang diingini yakni kedamaian dan cinta.
 
Keprihatinan dan sekaligus kemarahan penyair pada ketidakadilan penindasan dan pemerkosaan tampak pada puisi berjudul Seperti Belanda. Mula-mula membayangkan bagaimana sifat yang licik dan penuh taktik yang pernah dilakukan oleh si penjajah Belanda terhadap Indonesia. Kemudian ternyata polah yang sama juga dilakukan oleh oknum suatu rezim berkuasa di Jakarta pada zaman kemerdekaan. Kata Fikar,
 
seperti belanda mereka suguhi kami anggur hingga kami mendengkur lalu dengan leluasa mengeruk perut kami gas alam, minyak, emas, hutan sampai akar rumput bumi seperti belanda mereka pun menghunus sangkur dengan senapan siap tempur rumah-rumah digempur masjid, meunasah dibuat hancur
 
Bahkan melebihi Belanda si penjajah, oknum tadi di mata Fikar ternyata lebih kotor. Kata si penyair, melebihi belanda/mereka perkosa istri-istri kami/ mereka tebas leher putera-puteri kami/mereka bunuh harapan dan cita-cita kami.
 
Puisi perlawanan ini ditutup dengan dua baris yang menonjok hidung, melebihi belanda/itulah jakarta.
 
Ekspresi puitis Aceh tak hanya bercerita tentang kepedihan dan kenestapaan, ketidakadilan, tapi juga sampai pada penyerahan diri pada Sang Pencipta. A.A. Manggeng dalam puisi Pengembara memulai baris puisinya, “Tuhan/bawalah jiwaku dalam sungaiMu/hanyut dalam arus tenang dan bergelombang/singgahkan aku pada tebing-tebing rerumputan/agar aku bisa rebahkan letihku dalam embun maafMu”.

*) L.K. Ara, Seniman Aceh. http://sastra-indonesia.com/2010/12/ekspresi-puitis-aceh-menghadapi-musibah/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

A Anzieb A. Khoirul Anam A. Muhaimin Iskandar A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Rodhi Murtadho A.H. J Khuzaini A.S Laksana Aa Sudirman Abdul Kirno Tanda Abdurrahman Wahid Acep Iwan Saidi Achiar M Permana Addi Mawahibun Idhom Adhi Pandoyo Adi W. Gunawan Afrion Afriza Hanifa Afrizal Malna Agama Para Bajingan Aguk Irawan MN Agung Poku Agus Buchori Agus Mulyadi Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Setiawan Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wahyudi Agusri Junaidi AH J Khuzaini Ahmad Baso Ahmad Dahri Ahmad Farid Yahya Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Munjin Ahmad Naufel Ahmad Rifa’i Rif’an Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadul Faqih Mahfudz Ahmadun Yosi Herfanda Akhlis Purnomo Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akhudiat Albert Camus Alfathri Adlin Alfian Dippahatang Ali Audah Alim Bakhtiar Alimuddin Amelia Rachman Amie Williams Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin An. Ismanto Andhi Setyo Wibowo Andik Suprihartono Andri Awan Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Antologi Sastra Lamongan Anton Wahyudi Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia Arafat Nur Ari Welianto Arief Rachman Hakim Arif Hidayat Arif Saifudin Yudistira Arman A.Z. Arsyad Indradi Arti Bumi Intaran Asarpin Asep Dudinov Ar Atafras Awalludin GD Mualif Ayu Nuzul Bahrum Rangkuti Beni Setia Benni Setiawan Benny Benke Berita Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bonardo Maulana Wahono Bre Redana Budi Darma Budiman Hakim Buku Bung Hatta Bustan Basir Maras Butet Kertaredjasa Candrakirana Capres Cawapres 2019 Catatan Cerpen Chairil Anwar CNN Indonesia Coronavirus COVID-19 Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahlan Iskan Dahlan Kong Damiri Mahmud Danarto Daniel Dhakidae Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewi Satika Dian R. Basuki Dian Sukarno Dian Tri Lestari Dien Makmur Din Saja Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Diponegoro Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Doddy Hidayatullah Dodit Setiawan Santoso Dody Yan Masfa Donny Anggoro Donny Darmawan Doris Lessing Dr. Hilma Rosyida Ahmad Dwi Pranoto Dyah Ayu Fitriana Edisi Khusus Edy A Effendi Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendri Saiful Eko Prasetyo Eko Tunas Ekwan Wiratno el-Ha Abdillah Enny Arrow Erdogan Esai Esthi Maharani Estiana Arifin Evi Melyati F. Budi Hardiman F. Rahardi Fahmi Faqih Fahri Salam Faisal Kamandobat Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Feby Indirani Felix K. Nesi Festival Gugur Gunung Forum Santri Nasional Frischa Aswarini Fuad Mardhatillah UY Tiba Fuad Nawawi Galeri Sonobudoyo Galuh Tulus Utama Gampang Prawoto Geger Riyanto Geguritan Goenawan Mohammad Gola Gong Grathia Pitaloka Gugun el-Guyanie Gus Ahmad Syauqi Gus Dur Gusti Eka Habib Syech bin Abdul Qodir Assegaf Halim HD Hamdy Salad Hamid Jabbar Hamka Hamzah al-Fansuri Hari Puisi Indonesia (HPI) Harris Maulana Hasan Basri Hasnan Bachtiar Herry Fitriadi Herta Muller Heru Kurniawan Hesti Sartika Hilmi Abedillah Hudan Hidayat IAI TABAH Ibnu Wahyudi Idrus Efendi Ignas Kleden Iis Narahmalia Imam Jazuli Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Inung As Irfan Afifi Irwan Kelana Isbedy Stiawan Z.S. Iwan Simatupang Jafar Fakhrurozi Jajang R Kawentar Jalaluddin Rakhmat Jawa dan Islam JJ. Kusni Jo Batara Surya Joni Ariadinata Jordaidan Rizsyah Jual Buku Paket Hemat Jurnalisme Sastra K.H. Ma'ruf Amin Kadek Suartaya Kadjie MM Kalis Mardiasih Kanti W. Janis Karang Taruna Kedungrejo Katrin Bandel Kedai Kopi Sastra Kedung Darma Romansha Kedungrejo Muncar Banyuwangi Kemah Budaya Panturan (KBP) Kembulan KetemuBuku Jombang KH. M. Najib Muhammad KH. Muhammad Amin (1910-1949) Khairul Mufid Jr Khawas Auskarni Ki Ompong Sudarsono Kitab Arbain Nawawi Kitab Kelamin Kompas TV Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Buana Kasih Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Perupa Lamongan (KOSPELA) Komunitas Sastra dan Teater Lamongan Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Komunitas Selapan Sastra Kopi Bubuk Mbok Djum Kostela KPRI IKMAL Lamongan Kritik Sastra Kumpulan Cerita Buntak Kuswaidi Syafi’ie L Ridwan Muljosudarmo L.K. Ara Lagu Laksmi Shitaresmi Lan Fang Launching Buku Launching dan Bedah Buku Lawi Ibung Linda S Priyatna Literasi Liza Wahyuninto Lona Olavia Lukisan Lukman Santoso Az M. Faizi M. Lutfi M. Raudah Jambak M.D. Atmaja Maduretna Menali Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maimun Zubair Maiyah Banyuwangi Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Manneke Budiman Maratushsholihah Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Mariana Sitohang Mario Vargas Llosa Marsel Robot Mas Garendi Mashuri Massayu Masuki M. Astro Max Arifin Media Seputar Indonesia Mei Anjar Wintolo Melukis Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggalang Dana Amal MG. Sungatno Mianto Nugroho Agung Mien Uno Miftachur Rozak Mihar Harahap Mochtar Lubis Moh. Husen Moh. Jauhar al-Hakimi Moh. Syafari Firdaus Mohamad Sobary Mohammad Rokib Mohammad Wildan Motinggo Busye Muafiqul Khalid MD Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Alfatih Suryadilaga Muhammad Alimudin Muhammad Anta Kusuma Muhammad Marzuki Muhammad Muhibbuddin Muhammad N. Hassan Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammad Yunus Muhidin M. Dahlan Mukhsin Amar Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Munawir Aziz Mutia Sukma N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Ndix Endik Nenden Lilis A Nezar Patria Ni Made Purnama Sari Ninin Damayanti NKRI Nur Taufik Nurel Javissyarqi Nurul Komariyah Obrolan Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Orhan Pamuk Pagelaran Musim Tandur Palestina Palupi Panca Astuti Pameran Lukisan Parimono V / 40 Plandi Jombang Pawon Seni PDS H.B. Jassin Pekan Literasi Lamongan Pelukis Tarmuzie Pendhapa Art Space Pendidikan Penerbit Pelangi Sastra Pengajian Pipiet Senja Politik Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang Pramoedya Ananta Toer Presiden Jokowi Proses Kreatif Puisi Puisi Menolak Korupsi (PMK) Pungkit Wijaya Pusat Studi Budaya Banyuwangi (PSBB) Pustaka LaBRAK Putu Fajar Arcana R Giryadi R. Ng. Ronggowarsito Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rakai Lukman Rakhmat Nur Hakim Rani R. Moediarta Raudal Tanjung Banua Raudlotul Immaroh Reiny Dwinanda Remy Syaldo Remy Sylado Rendy Adrikni Sadikin Resensi Reuni dan Halal Bihalal Mts Putra-Putri Simo 1991-1992 Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Antoni Riki Dhamparan Putra Rimbun Natamarga Rinto Andriono Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Romel Masykuri Nur Arifin Ronny Agustinus Rosi Rosihan Anwar Rosmawaty Harahap Roy Kusuma Rumah Budaya Pantura (RBP) Rx King Motor S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sainul Hermawan Sajak Salman Faris Sandiaga Uno Sanggar Lukis Alam Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang Sanusi Pane Sapardi Djoko Damono Saripuddin Lubis Sasti Gotama Saut Situmorang Saya Sayyid Muhammad Hadi Assegaf Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSAstra Boenga Ketjil Seni Gumira Ajidarma Seni Rupa Seno Joko Suyono Setia Budhi Shiny.ane el’poesya Shofa As-Syadzili Sholihul Huda Shulhan Hadi Sihar Ramses Simatupang Siti Aisyatul Adawiyah Siwi Dwi Saputro Soediro Satoto Soeparno S. Adhy Soesilo Toer Soetanto Soepiadhy Sofyan RH. Zaid Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad STKIP PGRI Ponorogo Subagio Sastrowardoyo Suminto A. Sayuti Sunardian Wirodono Sunlie Thomas Alexander Sunoto Sunu Wasono Sunudyantoro Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syahrudin Attar Syaifuddin Gani Syaikh Prof. Dr. dr. Yusri Abdul Jabbar al-Hasani Asyadzili Syaikh Yusri al-Hasani Al Azhari Taman Ismail Marzuki Taufiq Wr. Hidayat Teater Ilat Teguh Afandi Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Tere Liye Toko Buku PUstaka puJAngga Lamongan Tri Wahono TS Pinang Tsani Fanie Tulus S Udo Z. Karzi Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Jember Untung Wahyudi Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Virdika Rizky Utama W.S. Rendra Wage Daksinarga Wahyu Aji Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Widie Nurmahmudy Yanuar Widodo Yanusa Nugroho Yerusalem Yetti A. KA Yohanes Padmo Adi Nugroho Yohanes Sehandi Yoks Kalachakra Yonathan Rahardjo Yuditeha Yusri Fajar Yuval Noah Harari Zainal Arifin Thoha Zehan Zareez Zuhdi Swt Zulfikar Akbar