Anton Wahyudi *
“MENAWI Ludruk nggih kedah melas amargi nasibe nggih pancen melas tenanan. Sing paling melas sambate konco-konco Ludruk utamane konco-konco Ludruk dugi Jombang. Ludruk komunitase paling akeh nduk Jombang. Lahire yo jarene teko Jombang, tapine konco-konco rumongso pun akeh sing mboten kopen.
Kapan onok program workshop Ludruk? Kapan onok pembinaan Ludruk? Kapan onok bantuan alat-alat Ludruk? Kapan onok pentas periodik Ludruk? Terus, kenek opo yoan tahun wingi ndungareni gak onok acara Festival Ludruk? Opo Festival Ludruk ape sengojo diilangi, disebul, fuh, ben mati?
Lha nek wis ngoten punopo mboten cures, Mas? Mugi-mugi ae wonten tiyang sing saget dadi jembatan konco-konco Ludruk kalian wong pemerintah,” kata Si Abah Edy Karya, pentolane Ludruk Karya Budaya Mojokerto, ngudar rasa, makili pegiat Kesenian Ludruk di Jawa Timur sing minurut kabar burung nasibe Ludruk kian hari tambah kian… Hahaha. Mbuh!
MEMBACA sekilas status atau komentar —entah itu candaan, kritik, atau ngudar rasa di jejaring online beberapa minggu lalu hati saya langsung terenyuh, meleleh, termehek-mehek. Sebuah komentar atau candaan di sepertiga malam yang secara pragmatis saya meyakini konteksnya serius, kontemplatif, dan sarat makna jika mau ditelaah secara saksama di dalamnya.
Seketika, saklar imajinasi saya langsung hidup. On. Menyala. Mikir. Mikir ihwal Kesenian Ludruk, terkhususnya Kesenian Ludruk di wilayah Jombang, Mojokerto, dan sekitarnya yang barangkali saja nasibnya kian hari kian…? Silakan diteruskan sendiri kalimatnya.
Oleh karena, saya yakin, setiap personal pastinya mempunyai pandangan, mempunyai amatan, mempunyai timbangan, mempunyai pemikiran-pemikiran, atau pun mempunyai jawaban-jawaban yang berbeda-beda. Jawaban-jawaban yang suceng nan subjektif.
Sebelumnya mohon maaf. Ini hanya tulisan sederhana, —semacam celoteh— yang memang pada dasarnya sengaja saya tulis dengan pemikiran yang sedikit agak terkesan makul, sensible, logis, nan analitis. Dan, saya mohon bapak-bapak, ibu-ibu, mas-mas, mbak-mbak, dan adik-adik pembaca yang budiman bisa menanggapi tulisan ini dengan kepala-kepala yang dingin.
Mohon sekiranya ditanggapi dengan bijak dan sana. Bukan maksud saya merasa sok metis, sok ujug-ujug, atau barangkali makbedunduk (Jawa: muncul) menjadi Si Pendekar Ludruk Dadakan (SPLD) dari goa hantu. Bukan maksud saya sok merasa ingin menjadi komunikator, mediator, provokator, atau tor tor tor yang lain sebagainya. Oleh karena, bukan kapasitas saya membicarakan yang muluk-muluk tentang Ludruk adanya.
Sekiranya, tulisan ini mohon dianggaplah saja sebagai sepucuk surat cinta dari saya, —semacam tanggapan yang barangkali saja semoga bisa menyalurkan energi-energi yang positif, yang afirmatif, yang konklusif, dan tentunya: tidak bertendensi. Atau, anggap saja tulisan ini sebagai sebuah apresiasi kecil saya terhadap komentar —atau entah candaan— Si Abah di atas dan iktirad saya tentang reklame Festival Ludruk Jawa Timur yang dulu pernah saya baca dan saya potret dengan kamera ponsel di sekitaran jomplangan kereta samping stasiun Kota Santri tahun 2015 lalu.
Sebuah reklame Festival Ludruk Jawa Timur yang tampak meger-meger (Jawa: gagah), yang bisa saya katakan kok tumben sekali ya acara Festival Ludruk Jawa Timur Tahun 2015 dulu di-handel langsung oleh Pemerintah Provinsi.
Tidak seperti acara Festival-Festival Ludruk di tahun-tahun sebelumnya. Menariknya, di reklame yang saya potret tersebut tertulis secara gamblang bahwa Festival Ludruk Jawa Timur Tahun 2015 lalu digelar sebagai Acara Hari Ulang Tahun Jawa Timur Ke-70.
Kesenian Ludruk yang notabene-nya banyak sebagian pengamat yang mengatakan lahir atau tumbuh dan berkembangnya di Jombang, kelompoknya banyak di Jombang, dan para pegiatnya juga banyak dari Jombang podho akeh sing ngudar rasa. Banyak yang rasan-rasan, banyak yang merasai, mengerang, dan menarik napas panjang. Mengeluh.
“Kapan yo kiro-kiro ono Program Workshop Seni Ludruk? Kapan yo kiro-kiro ono Pembinaan Kelompok Kesenian Ludruk? Kapan tho yo kiro-kiro ono Program Bantuan Alat-alat Ludruk? Oalah kapan yo kiro-kiro ono agenda Pentas Periodik Ludruk, sing sifat’e ajeg, jejeg, sing tentune… berkembang. Nambah. Alias, tidak malah tambah dikurangi jatah pentase? Oalah kenek opo tho yo yo Festival Ludruk tahun rongewulimolas mbiyen di-handle langsung karo Pemprov? Dan, yang lebih mencenangkan lagi: Kenek opo yo kok tahun wingi nang Jawa Timur gak ono acara Festival Ludruk koyok tahun-tahun sak durunge? Opo kiro-kiro, acara Festival Ludruk Tahunane atene sengojo digusep, disebul, fuhhh, dipateni, ben Ludruk-Ludruk’e ndang cepet bongko. Subhanolloh”.
Coba, mari kita berpikir sejenak pakek otak. Oh, maaf, kita bayangkan saja, biar kesannya tidak berat. Bayangkan saja, faktanya ada sekitar duapuluh delapanan –bahkan bisa lebih– kelompok-kelompok Kesenian Ludruk yang ada di Jombang dan tersebar luas di tiap-tiap wilayah Kecamatan di Kabupaten Jombang.
Hal ini bisa dibuktikan dari usaha penelusuran kelompok-kelompok kesenian Ludruk yang pernah dilakukan oleh seorang kawan alm. Fahrudin Nasrulloh, yang pernah singgah atau beravontur di tiap-tiap desa di dua puluh satu kecamatan guna menelusuri dan mengartikulasikan tiap-tiap cerita kelompok kesenian Ludruk ke dalam sebuah karya buku.
Sebuah buku berjudul “Melacak Ludruk Jombang” –yang dulu pernah diterbitkan oleh BAPPEDA Kabupaten Jombang tahun 2011. Sebuah karya buku yang sangat berharga, akan tetapi sangat disayangkan oleh karena buku tersebut hingga saat ini tidak banyak masyarakat yang mengetahuinya.
Oleh karena, barangkali, buku tersebut tidak atau belum terdistribusikan dengan baik agar bisa dibaca dan diapresiasi publik. Terkhususnya, dibaca masyarakat Kabupaten Jombang dan lebih luas lagi dibaca masyarakat Jawa Timur pada umumnya.
Dengan demikian, dari duapuluh delapan hingga lebih kelompok-kelompok kesenian Ludruk yang ada di Kabupaten Jombang tersebut akan disayangkan jika tidak diperhatikan secara saksama keberadaannya. Akan sangat mengecewakan jika tidak ditata atau dikelola dengan baik keseluruhannya.
Akan sangat disayangkan jika kurang diapresiasi, kurang dihadirkan ke publik, dan lain sebagainya. Maaf, saya hanya bisa memberi sampel atau sekelumit tentang jumlah dan keberadaan kelompok-kelompok Ludruk di kawasan Kabupaten Jombang saja. Pertanyaan, “Bagaimana dengan kelompok-kelompok kesenian Ludruk yang juga banyak tersebar di kawasan sekitar Jawa Timur yang lainnya? Renungkan!”
Sebuah Iktirad; Setetes Air Mata di Ludruk Pertama
Melihat Kabupaten Jombang, Mojokerto, dan kabupaten-kabupaten maupun kota-kota lain yang ada di wilayah Jawa Timur yang kian hari kian asri. Yang kian hari kian tertata rapi. Yang barangkali juga kian hari kian guyup dan riuh masyarakat pendukungnya.
Terkhususnya, masyarakat yang saat ini lagi gila atau lagi haus menyerbu hiburan-hiburan di area umum dan ruang publik, saya rasa masih kurang ces dan plong jikamana masih ada sambatan-sambatan atau sesalan dari kelompok-kelompok penghibur massa.
Terkhususnya, ihwal kelompok-kelompok kesenian Ludruk yang bisa saya katakan kian hari kian menepi, kian termarginalkan, dan kian berjarak dengan masyarakat pendukungnya. Terlebih, kesenian Ludruk yang secara historis asli lahir di tanah Jawa Timur ini masih kurang bisa terperhatikan, kurang bisa ditata atau dikelola rapi, kurang bisa dimaksimalkan kebermanfaatannya, kurang bisa dibanggakan keberadaannya, kurang bisa dilestarikan atau dipopulerkan, kurang bisa dijunjung tinggi derajatnya, dan lain sebagainya.
Bukti konkritnya, banyak sekian di antaranya kelompok-kelompok kesenian Ludruk yang jarang manggung atau tanggapan (Jawa: tampil). Banyak kelompok-kelompok kesenian Ludruk yang secara perlahan tapi pasti mulai gulung tikar, punah, mati suri, dan mati generasi. Pertanyaannya:
“Kenapa bisa jadi sedemikian? Apakah ada yang salah dengan cara berpikir masyarakatnya? Apakah ada yang salah dengan sistem atau kebijakan pemerintah daerahnya? Apakah ada yang salah dengan orang-orang atau kelompok Ludruknya?” Mari, biar tidak mis, kita merapatkan barisan, kita rapatkan rapat-rapat dalam pikiran, kita pikirkan secara krisis, logis, kritis, dan sistematis.
Kita cari dan telusuri akar masalahnya. Lalu, kita pecahkan bersama agar kesenian tradisi yang sudah mendarah daging di masyarakat Jawa Timur ini tidak semakin berlalu bersama angin. Tidak semakin tumpur dan mumur.
Mari kita sikapi bersama, agar salah satu kesenian purba ini bisa senantiasa tetap bertahan, tetap eksis, tetap progresif, tetap bisa melantas, serta nantinya kesenian tradisi ini bisa menjadikan sebuah citra, alias bisa melatamkan Jawa Timur di tingkat Nasional hingga Internasional. Semoga. Aamiin.
Sebuah Tepukan; Seribu Senyum di Ludruk Kedua
Perbedaan istilah Ludruk Pertama dan Ludruk Kedua sangat sederhana. Ludruk Pertama adalah pertunjukan atau pementasan Ludruk. Sedangkan, Ludruk Kedua adalah sebuah bagian dari peristiwa kedua (setelah) menonton Ludruk. Sebuah laporan hasil baca.
Oleh karena, pada dasarnya, para penonton-penonton pementasan Ludruk yang meludruk, yang membicang atau mengobrolkan Ludruk, yang menuliskan Ludruk, dan yang lain sebagainya setelah menonton Ludruk Pertama, bisa dikatakan sebagai sebuah peristiwa Ludruk Kedua.
Dalam artian sederhana, Si Dadang Ari Murtono (sebagai penonton Ludruk, pendengar cerita-cerita tentang Ludruk, pembaca tulisan Ludruk, dan lain sebagainya) telah berhasil meludruk kedua melalui kegiatan ciptasastra. Mengartikulasikan Ludruk-Ludruk Pertama menjadi sebuah buku.
Buku sepilihan sajak yang diberi judul “Ludruk Kedua”. Menariknya, buku ini adalah buku yang ditulis pada saat si penulis —dalam hal ini Si Dadang Ari Murtono, sedang (merasa) ada yang gruwung (Jawa: berlubang) dalam dirinya setiap kali memikirkan tentang kenapa harus diberi nama Ludruk Kedua.
“Saya adalah seorang pribadi yang sedang tercabik-cabik dan sedang merasa tak utuh. Ada suatu masa yang hilang dan saya seakan-akan tidak akan merasa puas sebelum bisa menemukannya,” kata Si Dadang, malu-malu kucing dalam kata pengantar bukunya.
“Ludruk Kedua” adalah sebuah buku karya Dadang Ari Murtono, sastrawan muda yang masih bujang dan berprestasi Jawa Timur asal Pacet Mojokerto. Sebuah karya buku sepilihan sajak tentang Kesenian Ludruk yang di dalamnya berisi sebanyak empat puluh dua judul. Menariknya, buku sepilihan sajak ini berisi persoalan yang berkaitan erat dengan persoalan kesenian Ludruk.
Mulai dari tentang Dunia yang Dilupakan, tentang Lerok, tentang Ludruk, tentang Tranvesti, tentang Ketika Maling Caluring Memaling, tentang Cak Markeso, tentang Cak Durasim, hingga tentang persoalan Menonton Ludruk dari Balik Cerita Sewaktu Gerimis.
Buku ini saya katakan menarik untuk dibaca dan diapresiasi. Oleh karena, “Ludruk Kedua” adalah salah satu karya yang merekam secara padat tapi berisi semua persoalan yang berkaitan erat tentang kesenian Ludruk; mulai dari persoalan sejarah kesenian Ludruk, tokoh-tokoh pejuang kesenian Ludruk, sisi menarik dari pertunjukan kesenian Ludruk, sisi menarik dari kerja kelompok-kelompok Ludruk, sisi menarik dari penonton-penonton pementasan Ludruk, sisi menarik para pemain-pemain kesenian Ludruk di belakang layar (prapentas), sisi menarik kehidupan para pegiat dan pelaku kesenian Ludruk, sisi menarik lakon-lakon yang diusung dalam kelompok kesenian Ludruk, dan lain sisi-sisi lain sebagainya.
Sebuah Refleksi Tentang Ludruk Pertama dan Kedua
Mohon maaf. Sedikit saya ingin menyinggung tentang sejarah lama. Lebih khususnya sejarah tentang kesenian Ludruk. Singkat cerita, pada dasarnya, presiden pertama yang memimpin negeri kita, Soekarno, yang notabene-nya asli lahir dan dibesarkan di Jawa Timur saya katakan sangat apresiatif dalam menjunjung tinggi semua kesenian daerah-daerahnya.
Sebagai petinggi Negara nomor satu di NKRI, Presiden Soekarno pernah mengundang kelompok kesenian Ludruk ke Istana Presiden pada tahun 1958-an dan menggelar acara pementasan kesenian Ludruk selama kurun waktu tujuh belas harian.
Begitu juga putrinya, Presiden Megawati, pada saat menjabat sebagai petinggi Negara di Indonesia juga pernah mengundang kelompok keseneian Ludruk pada tahun 2002. Sebuah upaya yang konkret; mengenalkan, menempatkan, menjunjung, atau memosisikan bahwa kesenian daerah yang sudah mendarah daging di tanah air, lebih khususnya di tanah kelahirannya patut serta layak untuk dijunjung tinggi derajatnya dan harus diapresiasi. (Mohon maaf, perihal sumber foto pementasan, poster, undangan, dan lain sebagainya belum saya unggah atau saya lengkapi di tulisan ini).
Bapak-bapak, ibu-ibu, kakak-kakak, dan adik-adik pembaca yang budiman. Di era yang serba digital dan serba instan ini mari kita bayangkan dan kita pikirkan sejenak, kira-kira bagaimana kultur masyarakat Jawa Timur lebih khususnya dan masyarakat Indonesia pada umumnya 3, 5, hingga 10 tahun ke depan.
Lebih khususnya tantangan pemerintah daerah dalam kaitannya dalam merespons local genius dan local wisdom. Dalam hal ini, bagaimana upaya pemerintah daerah dalam melestarikan budaya-budaya lokal baik dalam mengenalkan, mewariskan nilai-nilai leluhur, serta menumbuhkembangkan jiwa cinta dan bangga masyarakat pendukungnya terhadap salah satu dari sekian banyak kesenian di daerahnya.
Dengan demikian, kalau mau kita berkata jujur, sebagai warga asli Jawa Timur, pastinya kita akan memunculkan beragam pertanyaan yang semestinya bisa kita jawab dengan tepat guna: Apakah perihal kelompok-kelompok kesenian Ludruk sudah tidak dianggap penting keberadaannya? Apa kelompok-kelompok kesenian Ludruk tidak pernah membanggakan kita sebagai warga asli pendukungnya? Sebagai warga asli Jawa Timur pada khususnya?
Apakah kelompok-kelompok kesenian Ludruk tidak bisa dijadikan salah satu media shock teraphy, sebagai wahana rekreasi edukasi, dan lain sebagainya. Tentunya, cara pandang kita dalam menjawab atau menanggapi akan pastilah berbeda antara satu dengan yang lainnya. Dan semua, tergantung dari yang di atas sana. Tergantung atasannya!
Omah Jambu, 10 Februari 2017
__________
*) Pengampu matakuliah Sastra Indonesia di Program Studi PBSI STKIP PGRI Jombang.
https://faktualnews.co/2017/02/14/setetes-air-mata-ludruk-pertama-dan-seribu-senyum-ludruk-kedua/6289/
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Anzieb
A. Khoirul Anam
A. Muhaimin Iskandar
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A. Rodhi Murtadho
A.H. J Khuzaini
A.S Laksana
Aa Sudirman
Abdul Kirno Tanda
Abdurrahman Wahid
Acep Iwan Saidi
Achiar M Permana
Addi Mawahibun Idhom
Adhi Pandoyo
Adi W. Gunawan
Afrion
Afriza Hanifa
Afrizal Malna
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan MN
Agung Poku
Agus Buchori
Agus Mulyadi
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Setiawan
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agus Wahyudi
Agusri Junaidi
AH J Khuzaini
Ahmad Baso
Ahmad Dahri
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Munjin
Ahmad Naufel
Ahmad Rifa’i Rif’an
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Tohari
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadul Faqih Mahfudz
Ahmadun Yosi Herfanda
Akhlis Purnomo
Akhmad Sekhu
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Albert Camus
Alfathri Adlin
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Alim Bakhtiar
Alimuddin
Amelia Rachman
Amie Williams
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
An. Ismanto
Andhi Setyo Wibowo
Andik Suprihartono
Andri Awan
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Antologi Sastra Lamongan
Anton Wahyudi
Anugrah Gio Pratama
Anung Wendyartaka
Aprinus Salam
APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia
Arafat Nur
Ari Welianto
Arief Rachman Hakim
Arif Hidayat
Arif Saifudin Yudistira
Arman A.Z.
Arsyad Indradi
Arti Bumi Intaran
Asarpin
Asep Dudinov Ar
Atafras
Awalludin GD Mualif
Ayu Nuzul
Bahrum Rangkuti
Beni Setia
Benni Setiawan
Benny Benke
Berita
Bernando J. Sujibto
Binhad Nurrohmat
Bonardo Maulana Wahono
Bre Redana
Budi Darma
Budiman Hakim
Buku
Bung Hatta
Bustan Basir Maras
Butet Kertaredjasa
Candrakirana
Capres Cawapres 2019
Catatan
Cerpen
Chairil Anwar
CNN Indonesia
Coronavirus
COVID-19
Cunong N. Suraja
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Dahlan Iskan
Dahlan Kong
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Dhakidae
Deni Jazuli
Denny JA
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewi Satika
Dian R. Basuki
Dian Sukarno
Dian Tri Lestari
Dien Makmur
Din Saja
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Diponegoro
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Doddy Hidayatullah
Dodit Setiawan Santoso
Dody Yan Masfa
Donny Anggoro
Donny Darmawan
Doris Lessing
Dr. Hilma Rosyida Ahmad
Dwi Pranoto
Dyah Ayu Fitriana
Edisi Khusus
Edy A Effendi
Egidius Patnistik
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Hendri Saiful
Eko Prasetyo
Eko Tunas
Ekwan Wiratno
el-Ha Abdillah
Enny Arrow
Erdogan
Esai
Esthi Maharani
Estiana Arifin
Evi Melyati
F. Budi Hardiman
F. Rahardi
Fahmi Faqih
Fahri Salam
Faisal Kamandobat
Farah Noersativa
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Feby Indirani
Felix K. Nesi
Festival Gugur Gunung
Forum Santri Nasional
Frischa Aswarini
Fuad Mardhatillah UY Tiba
Fuad Nawawi
Galeri Sonobudoyo
Galuh Tulus Utama
Gampang Prawoto
Geger Riyanto
Geguritan
Goenawan Mohammad
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gugun el-Guyanie
Gus Ahmad Syauqi
Gus Dur
Gusti Eka
Habib Syech bin Abdul Qodir Assegaf
Halim HD
Hamdy Salad
Hamid Jabbar
Hamka
Hamzah al-Fansuri
Hari Puisi Indonesia (HPI)
Harris Maulana
Hasan Basri
Hasnan Bachtiar
Herry Fitriadi
Herta Muller
Heru Kurniawan
Hesti Sartika
Hilmi Abedillah
Hudan Hidayat
IAI TABAH
Ibnu Wahyudi
Idrus Efendi
Ignas Kleden
Iis Narahmalia
Imam Jazuli
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Tohari
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Inung As
Irfan Afifi
Irwan Kelana
Isbedy Stiawan Z.S.
Iwan Simatupang
Jafar Fakhrurozi
Jajang R Kawentar
Jalaluddin Rakhmat
Jawa dan Islam
JJ. Kusni
Jo Batara Surya
Joni Ariadinata
Jordaidan Rizsyah
Jual Buku Paket Hemat
Jurnalisme Sastra
K.H. Ma'ruf Amin
Kadek Suartaya
Kadjie MM
Kalis Mardiasih
Kanti W. Janis
Karang Taruna Kedungrejo
Katrin Bandel
Kedai Kopi Sastra
Kedung Darma Romansha
Kedungrejo Muncar Banyuwangi
Kemah Budaya Panturan (KBP)
Kembulan
KetemuBuku Jombang
KH. M. Najib Muhammad
KH. Muhammad Amin (1910-1949)
Khairul Mufid Jr
Khawas Auskarni
Ki Ompong Sudarsono
Kitab Arbain Nawawi
Kitab Kelamin
Kompas TV
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Komunitas Buana Kasih
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Komunitas Perupa Lamongan (KOSPELA)
Komunitas Sastra dan Teater Lamongan
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII)
Komunitas Selapan Sastra
Kopi Bubuk Mbok Djum
Kostela
KPRI IKMAL Lamongan
Kritik Sastra
Kumpulan Cerita Buntak
Kuswaidi Syafi’ie
L Ridwan Muljosudarmo
L.K. Ara
Lagu
Laksmi Shitaresmi
Lan Fang
Launching Buku
Launching dan Bedah Buku
Lawi Ibung
Linda S Priyatna
Literasi
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lukisan
Lukman Santoso Az
M. Faizi
M. Lutfi
M. Raudah Jambak
M.D. Atmaja
Maduretna Menali
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Maimun Zubair
Maiyah Banyuwangi
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Maratushsholihah
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Magdalena Bhoernomo
Mariana Sitohang
Mario Vargas Llosa
Marsel Robot
Mas Garendi
Mashuri
Massayu
Masuki M. Astro
Max Arifin
Media Seputar Indonesia
Mei Anjar Wintolo
Melukis
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggalang Dana Amal
MG. Sungatno
Mianto Nugroho Agung
Mien Uno
Miftachur Rozak
Mihar Harahap
Mochtar Lubis
Moh. Husen
Moh. Jauhar al-Hakimi
Moh. Syafari Firdaus
Mohamad Sobary
Mohammad Rokib
Mohammad Wildan
Motinggo Busye
Muafiqul Khalid MD
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Alfatih Suryadilaga
Muhammad Alimudin
Muhammad Anta Kusuma
Muhammad Marzuki
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad N. Hassan
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhammad Yunus
Muhidin M. Dahlan
Mukhsin Amar
Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik
Munawir Aziz
Mutia Sukma
N. Syamsuddin CH. Haesy
Naskah Teater
Ndix Endik
Nenden Lilis A
Nezar Patria
Ni Made Purnama Sari
Ninin Damayanti
NKRI
Nur Taufik
Nurel Javissyarqi
Nurul Komariyah
Obrolan
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Orhan Pamuk
Pagelaran Musim Tandur
Palestina
Palupi Panca Astuti
Pameran Lukisan
Parimono V / 40 Plandi Jombang
Pawon Seni
PDS H.B. Jassin
Pekan Literasi Lamongan
Pelukis Tarmuzie
Pendhapa Art Space
Pendidikan
Penerbit Pelangi Sastra
Pengajian
Pipiet Senja
Politik
Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang
Pramoedya Ananta Toer
Presiden Jokowi
Proses Kreatif
Puisi
Puisi Menolak Korupsi (PMK)
Pungkit Wijaya
Pusat Studi Budaya Banyuwangi (PSBB)
Pustaka LaBRAK
Putu Fajar Arcana
R Giryadi
R. Ng. Ronggowarsito
Radhar Panca Dahana
Raedu Basha
Rakai Lukman
Rakhmat Nur Hakim
Rani R. Moediarta
Raudal Tanjung Banua
Raudlotul Immaroh
Reiny Dwinanda
Remy Syaldo
Remy Sylado
Rendy Adrikni Sadikin
Resensi
Reuni dan Halal Bihalal Mts Putra-Putri Simo 1991-1992
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Antoni
Riki Dhamparan Putra
Rimbun Natamarga
Rinto Andriono
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Romel Masykuri Nur Arifin
Ronny Agustinus
Rosi
Rosihan Anwar
Rosmawaty Harahap
Roy Kusuma
Rumah Budaya Pantura (RBP)
Rx King Motor
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Sainul Hermawan
Sajak
Salman Faris
Sandiaga Uno
Sanggar Lukis Alam
Sanggar Pasir
Sanggar Rumah Ilalang
Sanusi Pane
Sapardi Djoko Damono
Saripuddin Lubis
Sasti Gotama
Saut Situmorang
Saya
Sayyid Muhammad Hadi Assegaf
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSAstra Boenga Ketjil
Seni Gumira Ajidarma
Seni Rupa
Seno Joko Suyono
Setia Budhi
Shiny.ane el’poesya
Shofa As-Syadzili
Sholihul Huda
Shulhan Hadi
Sihar Ramses Simatupang
Siti Aisyatul Adawiyah
Siwi Dwi Saputro
Soediro Satoto
Soeparno S. Adhy
Soesilo Toer
Soetanto Soepiadhy
Sofyan RH. Zaid
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
STKIP PGRI Ponorogo
Subagio Sastrowardoyo
Suminto A. Sayuti
Sunardian Wirodono
Sunlie Thomas Alexander
Sunoto
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syahrudin Attar
Syaifuddin Gani
Syaikh Prof. Dr. dr. Yusri Abdul Jabbar al-Hasani Asyadzili
Syaikh Yusri al-Hasani Al Azhari
Taman Ismail Marzuki
Taufiq Wr. Hidayat
Teater Ilat
Teguh Afandi
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Tere Liye
Toko Buku PUstaka puJAngga Lamongan
Tri Wahono
TS Pinang
Tsani Fanie
Tulus S
Udo Z. Karzi
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Universitas Jember
Untung Wahyudi
Uwell's King Shop
Uwell's Setiawan
Virdika Rizky Utama
W.S. Rendra
Wage Daksinarga
Wahyu Aji
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Widie Nurmahmudy
Yanuar Widodo
Yanusa Nugroho
Yerusalem
Yetti A. KA
Yohanes Padmo Adi Nugroho
Yohanes Sehandi
Yoks Kalachakra
Yonathan Rahardjo
Yuditeha
Yusri Fajar
Yuval Noah Harari
Zainal Arifin Thoha
Zehan Zareez
Zuhdi Swt
Zulfikar Akbar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar