Senin, 25 Mei 2020

Setetes Air Mata di Ludruk Pertama dan Seribu Senyum di Ludruk Kedua

Anton Wahyudi *

“MENAWI Ludruk nggih kedah melas amargi nasibe nggih pancen melas tenanan. Sing paling melas sambate konco-konco Ludruk utamane konco-konco Ludruk dugi Jombang. Ludruk komunitase paling akeh nduk Jombang. Lahire yo jarene teko Jombang, tapine konco-konco rumongso pun akeh sing mboten kopen.

Kapan onok program workshop Ludruk? Kapan onok pembinaan Ludruk? Kapan onok bantuan alat-alat Ludruk? Kapan onok pentas periodik Ludruk? Terus, kenek opo yoan tahun wingi ndungareni gak onok acara Festival Ludruk? Opo Festival Ludruk ape sengojo diilangi, disebul, fuh, ben mati?

Lha nek wis ngoten punopo mboten cures, Mas? Mugi-mugi ae wonten tiyang sing saget dadi jembatan konco-konco Ludruk kalian wong pemerintah,” kata Si Abah Edy Karya, pentolane Ludruk Karya Budaya Mojokerto, ngudar rasa, makili pegiat Kesenian Ludruk di Jawa Timur sing minurut kabar burung nasibe Ludruk kian hari tambah kian… Hahaha. Mbuh!

MEMBACA sekilas status atau komentar —entah itu candaan, kritik, atau ngudar rasa di jejaring online beberapa minggu lalu hati saya langsung terenyuh, meleleh, termehek-mehek. Sebuah komentar atau candaan di sepertiga malam yang secara pragmatis saya meyakini konteksnya serius, kontemplatif, dan sarat makna jika mau ditelaah secara saksama di dalamnya.

Seketika, saklar imajinasi saya langsung hidup. On. Menyala. Mikir. Mikir ihwal Kesenian Ludruk, terkhususnya Kesenian Ludruk di wilayah Jombang, Mojokerto, dan sekitarnya yang barangkali saja nasibnya kian hari kian…? Silakan diteruskan sendiri kalimatnya.

Oleh karena, saya yakin, setiap personal pastinya mempunyai pandangan, mempunyai amatan, mempunyai timbangan, mempunyai pemikiran-pemikiran, atau pun mempunyai jawaban-jawaban yang berbeda-beda. Jawaban-jawaban yang suceng nan subjektif.

Sebelumnya mohon maaf. Ini hanya tulisan sederhana, —semacam celoteh— yang memang pada dasarnya sengaja saya tulis dengan pemikiran yang sedikit agak terkesan makul, sensible, logis, nan analitis. Dan, saya mohon bapak-bapak, ibu-ibu, mas-mas, mbak-mbak, dan adik-adik pembaca yang budiman bisa menanggapi tulisan ini dengan kepala-kepala yang dingin.

Mohon sekiranya ditanggapi dengan bijak dan sana. Bukan maksud saya merasa sok metis, sok ujug-ujug, atau barangkali makbedunduk (Jawa: muncul) menjadi Si Pendekar Ludruk Dadakan (SPLD) dari goa hantu. Bukan maksud saya sok merasa ingin menjadi komunikator, mediator, provokator, atau tor tor tor yang lain sebagainya. Oleh karena, bukan kapasitas saya membicarakan yang muluk-muluk tentang Ludruk adanya.

Sekiranya, tulisan ini mohon dianggaplah saja sebagai sepucuk surat cinta dari saya, —semacam tanggapan yang barangkali saja semoga bisa menyalurkan energi-energi yang positif, yang afirmatif, yang konklusif, dan tentunya: tidak bertendensi. Atau, anggap saja tulisan ini sebagai sebuah apresiasi kecil saya terhadap komentar —atau entah candaan— Si Abah di atas dan iktirad saya tentang reklame Festival Ludruk Jawa Timur yang dulu pernah saya baca dan saya potret dengan kamera ponsel di sekitaran jomplangan kereta samping stasiun Kota Santri tahun 2015 lalu.

Sebuah reklame Festival Ludruk Jawa Timur yang tampak meger-meger (Jawa: gagah), yang bisa saya katakan kok tumben sekali ya acara Festival Ludruk Jawa Timur Tahun 2015 dulu di-handel langsung oleh Pemerintah Provinsi.

Tidak seperti acara Festival-Festival Ludruk di tahun-tahun sebelumnya. Menariknya, di reklame yang saya potret tersebut tertulis secara gamblang bahwa Festival Ludruk Jawa Timur Tahun 2015 lalu digelar sebagai Acara Hari Ulang Tahun Jawa Timur Ke-70.

Kesenian Ludruk yang notabene-nya banyak sebagian pengamat yang mengatakan lahir atau tumbuh dan berkembangnya di Jombang, kelompoknya banyak di Jombang, dan para pegiatnya juga banyak dari Jombang podho akeh sing ngudar rasa. Banyak yang rasan-rasan, banyak yang merasai, mengerang, dan menarik napas panjang. Mengeluh.

“Kapan yo kiro-kiro ono Program Workshop Seni Ludruk? Kapan yo kiro-kiro ono Pembinaan Kelompok Kesenian Ludruk? Kapan tho yo kiro-kiro ono Program Bantuan Alat-alat Ludruk? Oalah kapan yo kiro-kiro ono agenda Pentas Periodik Ludruk, sing sifat’e ajeg, jejeg, sing tentune… berkembang. Nambah. Alias, tidak malah tambah dikurangi jatah pentase? Oalah kenek opo tho yo yo Festival Ludruk tahun rongewulimolas mbiyen di-handle langsung karo Pemprov? Dan, yang lebih mencenangkan lagi: Kenek opo yo kok tahun wingi nang Jawa Timur gak ono acara Festival Ludruk koyok tahun-tahun sak durunge? Opo kiro-kiro, acara Festival Ludruk Tahunane atene sengojo digusep, disebul, fuhhh, dipateni, ben Ludruk-Ludruk’e ndang cepet bongko. Subhanolloh”.

Coba, mari kita berpikir sejenak pakek otak. Oh, maaf, kita bayangkan saja, biar kesannya tidak berat. Bayangkan saja, faktanya ada sekitar duapuluh delapanan –bahkan bisa lebih– kelompok-kelompok Kesenian Ludruk yang ada di Jombang dan tersebar luas di tiap-tiap wilayah Kecamatan di Kabupaten Jombang.

Hal ini bisa dibuktikan dari usaha penelusuran kelompok-kelompok kesenian Ludruk yang pernah dilakukan oleh seorang kawan alm. Fahrudin Nasrulloh, yang pernah singgah atau beravontur di tiap-tiap desa di dua puluh satu kecamatan guna menelusuri dan mengartikulasikan tiap-tiap cerita kelompok kesenian Ludruk ke dalam sebuah karya buku.

Sebuah buku berjudul “Melacak Ludruk Jombang” –yang dulu pernah diterbitkan oleh BAPPEDA Kabupaten Jombang tahun 2011. Sebuah karya buku yang sangat berharga, akan tetapi sangat disayangkan oleh karena buku tersebut hingga saat ini tidak banyak masyarakat yang mengetahuinya.

Oleh karena, barangkali, buku tersebut tidak atau belum terdistribusikan dengan baik agar bisa dibaca dan diapresiasi publik. Terkhususnya, dibaca masyarakat Kabupaten Jombang dan lebih luas lagi dibaca masyarakat Jawa Timur pada umumnya.

Dengan demikian, dari duapuluh delapan hingga lebih kelompok-kelompok kesenian Ludruk yang ada di Kabupaten Jombang tersebut akan disayangkan jika tidak diperhatikan secara saksama keberadaannya. Akan sangat mengecewakan jika tidak ditata atau dikelola dengan baik keseluruhannya.

Akan sangat disayangkan jika kurang diapresiasi, kurang dihadirkan ke publik, dan lain sebagainya. Maaf, saya hanya bisa memberi sampel atau sekelumit tentang jumlah dan keberadaan kelompok-kelompok Ludruk di kawasan Kabupaten Jombang saja. Pertanyaan, “Bagaimana dengan kelompok-kelompok kesenian Ludruk yang juga banyak tersebar di kawasan sekitar Jawa Timur yang lainnya? Renungkan!”

Sebuah Iktirad; Setetes Air Mata di Ludruk Pertama

Melihat Kabupaten Jombang, Mojokerto, dan kabupaten-kabupaten maupun kota-kota lain yang ada di wilayah Jawa Timur yang kian hari kian asri. Yang kian hari kian tertata rapi. Yang barangkali juga kian hari kian guyup dan riuh masyarakat pendukungnya.

Terkhususnya, masyarakat yang saat ini lagi gila atau lagi haus menyerbu hiburan-hiburan di area umum dan ruang publik, saya rasa masih kurang ces dan plong jikamana masih ada sambatan-sambatan atau sesalan dari kelompok-kelompok penghibur massa.

Terkhususnya, ihwal kelompok-kelompok kesenian Ludruk yang bisa saya katakan kian hari kian menepi, kian termarginalkan, dan kian berjarak dengan masyarakat pendukungnya. Terlebih, kesenian Ludruk yang secara historis asli lahir di tanah Jawa Timur ini masih kurang bisa terperhatikan, kurang bisa ditata atau dikelola rapi, kurang bisa dimaksimalkan kebermanfaatannya, kurang bisa dibanggakan keberadaannya, kurang bisa dilestarikan atau dipopulerkan, kurang bisa dijunjung tinggi derajatnya, dan lain sebagainya.

Bukti konkritnya, banyak sekian di antaranya kelompok-kelompok kesenian Ludruk yang jarang manggung atau tanggapan (Jawa: tampil). Banyak kelompok-kelompok kesenian Ludruk yang secara perlahan tapi pasti mulai gulung tikar, punah, mati suri, dan mati generasi. Pertanyaannya:

“Kenapa bisa jadi sedemikian? Apakah ada yang salah dengan cara berpikir masyarakatnya? Apakah ada yang salah dengan sistem atau kebijakan pemerintah daerahnya? Apakah ada yang salah dengan orang-orang atau kelompok Ludruknya?” Mari, biar tidak mis, kita merapatkan barisan, kita rapatkan rapat-rapat dalam pikiran, kita pikirkan secara krisis, logis, kritis, dan sistematis.

Kita cari dan telusuri akar masalahnya. Lalu, kita pecahkan bersama agar kesenian tradisi yang sudah mendarah daging di masyarakat Jawa Timur ini tidak semakin berlalu bersama angin. Tidak semakin tumpur dan mumur.

Mari kita sikapi bersama, agar salah satu kesenian purba ini bisa senantiasa tetap bertahan, tetap eksis, tetap progresif, tetap bisa melantas, serta nantinya kesenian tradisi ini bisa menjadikan sebuah citra, alias bisa melatamkan Jawa Timur di tingkat Nasional hingga Internasional. Semoga. Aamiin.

Sebuah Tepukan; Seribu Senyum di Ludruk Kedua

Perbedaan istilah Ludruk Pertama dan Ludruk Kedua sangat sederhana. Ludruk Pertama adalah pertunjukan atau pementasan Ludruk. Sedangkan, Ludruk Kedua adalah sebuah bagian dari peristiwa kedua (setelah) menonton Ludruk. Sebuah laporan hasil baca.

Oleh karena, pada dasarnya, para penonton-penonton pementasan Ludruk yang meludruk, yang membicang atau mengobrolkan Ludruk, yang menuliskan Ludruk, dan yang lain sebagainya setelah menonton Ludruk Pertama, bisa dikatakan sebagai sebuah peristiwa Ludruk Kedua.

Dalam artian sederhana, Si Dadang Ari Murtono (sebagai penonton Ludruk, pendengar cerita-cerita tentang Ludruk, pembaca tulisan Ludruk, dan lain sebagainya) telah berhasil meludruk kedua melalui kegiatan ciptasastra. Mengartikulasikan Ludruk-Ludruk Pertama menjadi sebuah buku.

Buku sepilihan sajak yang diberi judul “Ludruk Kedua”. Menariknya, buku ini adalah buku yang ditulis pada saat si penulis —dalam hal ini Si Dadang Ari Murtono, sedang (merasa) ada yang gruwung (Jawa: berlubang) dalam dirinya setiap kali memikirkan tentang kenapa harus diberi nama Ludruk Kedua.

“Saya adalah seorang pribadi yang sedang tercabik-cabik dan sedang merasa tak utuh. Ada suatu masa yang hilang dan saya seakan-akan tidak akan merasa puas sebelum bisa menemukannya,” kata Si Dadang, malu-malu kucing dalam kata pengantar bukunya.

“Ludruk Kedua” adalah sebuah buku karya Dadang Ari Murtono, sastrawan muda yang masih bujang dan berprestasi Jawa Timur asal Pacet Mojokerto. Sebuah karya buku sepilihan sajak tentang Kesenian Ludruk yang di dalamnya berisi sebanyak empat puluh dua judul. Menariknya, buku sepilihan sajak ini berisi persoalan yang berkaitan erat dengan persoalan kesenian Ludruk.

Mulai dari tentang Dunia yang Dilupakan, tentang Lerok, tentang Ludruk, tentang Tranvesti, tentang Ketika Maling Caluring Memaling, tentang Cak Markeso, tentang Cak Durasim, hingga tentang persoalan Menonton Ludruk dari Balik Cerita Sewaktu Gerimis.

Buku ini saya katakan menarik untuk dibaca dan diapresiasi. Oleh karena, “Ludruk Kedua” adalah salah satu karya yang merekam secara padat tapi berisi semua persoalan yang berkaitan erat tentang kesenian Ludruk; mulai dari persoalan sejarah kesenian Ludruk, tokoh-tokoh pejuang kesenian Ludruk, sisi menarik dari pertunjukan kesenian Ludruk, sisi menarik dari kerja kelompok-kelompok Ludruk, sisi menarik dari penonton-penonton pementasan Ludruk, sisi menarik para pemain-pemain kesenian Ludruk di belakang layar (prapentas), sisi menarik kehidupan para pegiat dan pelaku kesenian Ludruk, sisi menarik lakon-lakon yang diusung dalam kelompok kesenian Ludruk, dan lain sisi-sisi lain sebagainya.

Sebuah Refleksi Tentang Ludruk Pertama dan Kedua

Mohon maaf. Sedikit saya ingin menyinggung tentang sejarah lama. Lebih khususnya sejarah tentang kesenian Ludruk. Singkat cerita, pada dasarnya, presiden pertama yang memimpin negeri kita, Soekarno, yang notabene-nya asli lahir dan dibesarkan di Jawa Timur saya katakan sangat apresiatif dalam menjunjung tinggi semua kesenian daerah-daerahnya.

Sebagai petinggi Negara nomor satu di NKRI, Presiden Soekarno pernah mengundang kelompok kesenian Ludruk ke Istana Presiden pada tahun 1958-an dan menggelar acara pementasan kesenian Ludruk selama kurun waktu tujuh belas harian.

Begitu juga putrinya, Presiden Megawati, pada saat menjabat sebagai petinggi Negara di Indonesia juga pernah mengundang kelompok keseneian Ludruk pada tahun 2002. Sebuah upaya yang konkret; mengenalkan, menempatkan, menjunjung, atau memosisikan bahwa kesenian daerah yang sudah mendarah daging di tanah air, lebih khususnya di tanah kelahirannya patut serta layak untuk dijunjung tinggi derajatnya dan harus diapresiasi. (Mohon maaf, perihal sumber foto pementasan, poster, undangan, dan lain sebagainya belum saya unggah atau saya lengkapi di tulisan ini).

Bapak-bapak, ibu-ibu, kakak-kakak, dan adik-adik pembaca yang budiman. Di era yang serba digital dan serba instan ini mari kita bayangkan dan kita pikirkan sejenak, kira-kira bagaimana kultur masyarakat Jawa Timur lebih khususnya dan masyarakat Indonesia pada umumnya 3, 5, hingga 10 tahun ke depan.

Lebih khususnya tantangan pemerintah daerah dalam kaitannya dalam merespons local genius dan local wisdom. Dalam hal ini, bagaimana upaya pemerintah daerah dalam melestarikan budaya-budaya lokal baik dalam mengenalkan, mewariskan nilai-nilai leluhur, serta menumbuhkembangkan jiwa cinta dan bangga masyarakat pendukungnya terhadap salah satu dari sekian banyak kesenian di daerahnya.

Dengan demikian, kalau mau kita berkata jujur, sebagai warga asli Jawa Timur, pastinya kita akan memunculkan beragam pertanyaan yang semestinya bisa kita jawab dengan tepat guna: Apakah perihal kelompok-kelompok kesenian Ludruk sudah tidak dianggap penting keberadaannya? Apa kelompok-kelompok kesenian Ludruk tidak pernah membanggakan kita sebagai warga asli pendukungnya? Sebagai warga asli Jawa Timur pada khususnya?

Apakah kelompok-kelompok kesenian Ludruk tidak bisa dijadikan salah satu media shock teraphy, sebagai wahana rekreasi edukasi, dan lain sebagainya. Tentunya, cara pandang kita dalam menjawab atau menanggapi akan pastilah berbeda antara satu dengan yang lainnya. Dan semua, tergantung dari yang di atas sana. Tergantung atasannya!

Omah Jambu, 10 Februari 2017

__________
*) Pengampu matakuliah Sastra Indonesia di Program Studi PBSI STKIP PGRI Jombang.
https://faktualnews.co/2017/02/14/setetes-air-mata-ludruk-pertama-dan-seribu-senyum-ludruk-kedua/6289/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

A Anzieb A. Khoirul Anam A. Muhaimin Iskandar A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Rodhi Murtadho A.H. J Khuzaini A.S Laksana Aa Sudirman Abdul Kirno Tanda Abdurrahman Wahid Acep Iwan Saidi Achiar M Permana Addi Mawahibun Idhom Adhi Pandoyo Adi W. Gunawan Afrion Afriza Hanifa Afrizal Malna Agama Para Bajingan Aguk Irawan MN Agung Poku Agus Buchori Agus Mulyadi Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Setiawan Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wahyudi Agusri Junaidi AH J Khuzaini Ahmad Baso Ahmad Dahri Ahmad Farid Yahya Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Munjin Ahmad Naufel Ahmad Rifa’i Rif’an Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadul Faqih Mahfudz Ahmadun Yosi Herfanda Akhlis Purnomo Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akhudiat Albert Camus Alfathri Adlin Alfian Dippahatang Ali Audah Alim Bakhtiar Alimuddin Amelia Rachman Amie Williams Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin An. Ismanto Andhi Setyo Wibowo Andik Suprihartono Andri Awan Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Antologi Sastra Lamongan Anton Wahyudi Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia Arafat Nur Ari Welianto Arief Rachman Hakim Arif Hidayat Arif Saifudin Yudistira Arman A.Z. Arsyad Indradi Arti Bumi Intaran Asarpin Asep Dudinov Ar Atafras Awalludin GD Mualif Ayu Nuzul Bahrum Rangkuti Beni Setia Benni Setiawan Benny Benke Berita Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bonardo Maulana Wahono Bre Redana Budi Darma Budiman Hakim Buku Bung Hatta Bustan Basir Maras Butet Kertaredjasa Candrakirana Capres Cawapres 2019 Catatan Cerpen Chairil Anwar CNN Indonesia Coronavirus COVID-19 Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahlan Iskan Dahlan Kong Damiri Mahmud Danarto Daniel Dhakidae Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewi Satika Dian R. Basuki Dian Sukarno Dian Tri Lestari Dien Makmur Din Saja Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Diponegoro Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Doddy Hidayatullah Dodit Setiawan Santoso Dody Yan Masfa Donny Anggoro Donny Darmawan Doris Lessing Dr. Hilma Rosyida Ahmad Dwi Pranoto Dyah Ayu Fitriana Edisi Khusus Edy A Effendi Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendri Saiful Eko Prasetyo Eko Tunas Ekwan Wiratno el-Ha Abdillah Enny Arrow Erdogan Esai Esthi Maharani Estiana Arifin Evi Melyati F. Budi Hardiman F. Rahardi Fahmi Faqih Fahri Salam Faisal Kamandobat Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Feby Indirani Felix K. Nesi Festival Gugur Gunung Forum Santri Nasional Frischa Aswarini Fuad Mardhatillah UY Tiba Fuad Nawawi Galeri Sonobudoyo Galuh Tulus Utama Gampang Prawoto Geger Riyanto Geguritan Goenawan Mohammad Gola Gong Grathia Pitaloka Gugun el-Guyanie Gus Ahmad Syauqi Gus Dur Gusti Eka Habib Syech bin Abdul Qodir Assegaf Halim HD Hamdy Salad Hamid Jabbar Hamka Hamzah al-Fansuri Hari Puisi Indonesia (HPI) Harris Maulana Hasan Basri Hasnan Bachtiar Herry Fitriadi Herta Muller Heru Kurniawan Hesti Sartika Hilmi Abedillah Hudan Hidayat IAI TABAH Ibnu Wahyudi Idrus Efendi Ignas Kleden Iis Narahmalia Imam Jazuli Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Inung As Irfan Afifi Irwan Kelana Isbedy Stiawan Z.S. Iwan Simatupang Jafar Fakhrurozi Jajang R Kawentar Jalaluddin Rakhmat Jawa dan Islam JJ. Kusni Jo Batara Surya Joni Ariadinata Jordaidan Rizsyah Jual Buku Paket Hemat Jurnalisme Sastra K.H. Ma'ruf Amin Kadek Suartaya Kadjie MM Kalis Mardiasih Kanti W. Janis Karang Taruna Kedungrejo Katrin Bandel Kedai Kopi Sastra Kedung Darma Romansha Kedungrejo Muncar Banyuwangi Kemah Budaya Panturan (KBP) Kembulan KetemuBuku Jombang KH. M. Najib Muhammad KH. Muhammad Amin (1910-1949) Khairul Mufid Jr Khawas Auskarni Ki Ompong Sudarsono Kitab Arbain Nawawi Kitab Kelamin Kompas TV Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Buana Kasih Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Perupa Lamongan (KOSPELA) Komunitas Sastra dan Teater Lamongan Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Komunitas Selapan Sastra Kopi Bubuk Mbok Djum Kostela KPRI IKMAL Lamongan Kritik Sastra Kumpulan Cerita Buntak Kuswaidi Syafi’ie L Ridwan Muljosudarmo L.K. Ara Lagu Laksmi Shitaresmi Lan Fang Launching Buku Launching dan Bedah Buku Lawi Ibung Linda S Priyatna Literasi Liza Wahyuninto Lona Olavia Lukisan Lukman Santoso Az M. Faizi M. Lutfi M. Raudah Jambak M.D. Atmaja Maduretna Menali Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maimun Zubair Maiyah Banyuwangi Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Manneke Budiman Maratushsholihah Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Mariana Sitohang Mario Vargas Llosa Marsel Robot Mas Garendi Mashuri Massayu Masuki M. Astro Max Arifin Media Seputar Indonesia Mei Anjar Wintolo Melukis Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggalang Dana Amal MG. Sungatno Mianto Nugroho Agung Mien Uno Miftachur Rozak Mihar Harahap Mochtar Lubis Moh. Husen Moh. Jauhar al-Hakimi Moh. Syafari Firdaus Mohamad Sobary Mohammad Rokib Mohammad Wildan Motinggo Busye Muafiqul Khalid MD Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Alfatih Suryadilaga Muhammad Alimudin Muhammad Anta Kusuma Muhammad Marzuki Muhammad Muhibbuddin Muhammad N. Hassan Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammad Yunus Muhidin M. Dahlan Mukhsin Amar Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Munawir Aziz Mutia Sukma N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Ndix Endik Nenden Lilis A Nezar Patria Ni Made Purnama Sari Ninin Damayanti NKRI Nur Taufik Nurel Javissyarqi Nurul Komariyah Obrolan Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Orhan Pamuk Pagelaran Musim Tandur Palestina Palupi Panca Astuti Pameran Lukisan Parimono V / 40 Plandi Jombang Pawon Seni PDS H.B. Jassin Pekan Literasi Lamongan Pelukis Tarmuzie Pendhapa Art Space Pendidikan Penerbit Pelangi Sastra Pengajian Pipiet Senja Politik Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang Pramoedya Ananta Toer Presiden Jokowi Proses Kreatif Puisi Puisi Menolak Korupsi (PMK) Pungkit Wijaya Pusat Studi Budaya Banyuwangi (PSBB) Pustaka LaBRAK Putu Fajar Arcana R Giryadi R. Ng. Ronggowarsito Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rakai Lukman Rakhmat Nur Hakim Rani R. Moediarta Raudal Tanjung Banua Raudlotul Immaroh Reiny Dwinanda Remy Syaldo Remy Sylado Rendy Adrikni Sadikin Resensi Reuni dan Halal Bihalal Mts Putra-Putri Simo 1991-1992 Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Antoni Riki Dhamparan Putra Rimbun Natamarga Rinto Andriono Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Romel Masykuri Nur Arifin Ronny Agustinus Rosi Rosihan Anwar Rosmawaty Harahap Roy Kusuma Rumah Budaya Pantura (RBP) Rx King Motor S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sainul Hermawan Sajak Salman Faris Sandiaga Uno Sanggar Lukis Alam Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang Sanusi Pane Sapardi Djoko Damono Saripuddin Lubis Sasti Gotama Saut Situmorang Saya Sayyid Muhammad Hadi Assegaf Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSAstra Boenga Ketjil Seni Gumira Ajidarma Seni Rupa Seno Joko Suyono Setia Budhi Shiny.ane el’poesya Shofa As-Syadzili Sholihul Huda Shulhan Hadi Sihar Ramses Simatupang Siti Aisyatul Adawiyah Siwi Dwi Saputro Soediro Satoto Soeparno S. Adhy Soesilo Toer Soetanto Soepiadhy Sofyan RH. Zaid Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad STKIP PGRI Ponorogo Subagio Sastrowardoyo Suminto A. Sayuti Sunardian Wirodono Sunlie Thomas Alexander Sunoto Sunu Wasono Sunudyantoro Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syahrudin Attar Syaifuddin Gani Syaikh Prof. Dr. dr. Yusri Abdul Jabbar al-Hasani Asyadzili Syaikh Yusri al-Hasani Al Azhari Taman Ismail Marzuki Taufiq Wr. Hidayat Teater Ilat Teguh Afandi Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Tere Liye Toko Buku PUstaka puJAngga Lamongan Tri Wahono TS Pinang Tsani Fanie Tulus S Udo Z. Karzi Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Jember Untung Wahyudi Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Virdika Rizky Utama W.S. Rendra Wage Daksinarga Wahyu Aji Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Widie Nurmahmudy Yanuar Widodo Yanusa Nugroho Yerusalem Yetti A. KA Yohanes Padmo Adi Nugroho Yohanes Sehandi Yoks Kalachakra Yonathan Rahardjo Yuditeha Yusri Fajar Yuval Noah Harari Zainal Arifin Thoha Zehan Zareez Zuhdi Swt Zulfikar Akbar