Selasa, 20 Juli 2021

Catatan Puisi Indonesia 2008

: Tiga Penguak Sajak
 
Asarpin
lampungpost.com
 
Akhir tahun adalah waktu yang tepat menakar prestasi. Di bidang puisi, tentu saja ada kemajuan kendati sulit sekali dinarasikan. Mengingat ratusan–mungkin juga ribuan–sajak lahir dalam setahun, yang berjuang keras memberi harga pada kata dan bahasa Indonesia sebagai cermin “budaya bangsa”.–lit
 
Setelah dimitoskan sebagai presiden penyair Indonesia, dan dinobatkan sebagai sang raja mantra nusantara, setelah 27 tahun tidak lagi menerbitkan buku puisi dengan alasan yang tak jelas, dan beberapa tahun lalu malah menerbitkan buku himpunan cerpen Hujan Menulis Ayam dan buku esai Isyarat, dengan judul yang sensasional, pada Juni 2008 Yayasan Panggung Melayu menerbitkan buku puisi baru Sutardji Calzoum Bachri dengan judul Atau Ngit Cari Agar.
 
Setelah lebih dari seperempat abad menulis puisi tapi belum satu buku pun terbit, akhirnya Gramedia memecah kebekuan puisi Indonesia dengan menerbitkan himpunan puisi perdana Nirwan Dewanto, Jantung Lebah Ratu. Walau telah menulis puisi sejak awal 1990-an dengan gaya lirik yang khas, dan setelah malang-melintang di dunia teater, Iswadi Pratama baru tergerak membukukan sajaknya dengan lema Gema Secuil Batu.
 
Apakah yang bisa kita petik dari tiga buku sajak yang terbit tahun lalu itu? Apakah yang bisa kita kenang dan catat dari tiga buku puisi di awal tahun ini?
 
Mula-mula saya akan menjawab: Judulnya. Kemudian bahasa. Lebih tepatnya: Bahasa Indonesia.
 
Sutardji dengan ringan dan tanpa beban membuat sensasi dengan menggabungkan judul empat sajak menjadi judul buku Atau, Ngit, Cari, dan Agar. Apakah yang dimau si penyair memilih judul semacam itu?
 
Barangkali si penyair hanya main-main, atau ingin tampil beda lagi. Tapi setelah O Amuk Kapak, Tardji berhasil menelurkan satu gaya pengucapan lagi lewat sajak yang mengandung maksud dan kata-kata yang bebas dan sungsang: “bahkan terbalik huruf/nyungsang halaman/menjungkir kata/merintang tanda/menungging sampiran/menghalang paham/masih/rindu/mengjaKu” (sajak Nyungsang).
 
Sejumlah sajak dalam Atau Ngit Cari Agar bisa disebut sebagai estafet, atau bagian utuh dari kelanjutan tiga kumpulan sajak sebelumnya. Bedanya, sajak-sajak mutakhir Tardji mulai membuka maksud yang mudah dikenal, tidak sebagaimana dalam O Amuk Kapak yang membetot perasaan dan pikiran pembaca saking gelapnya.
 
Menuduh Tardji tak konsisten menerapkan kredo lamanya yang (hendak) membebaskan kata dari penggada pengertian, tidaklah relevan di sini. Menyimpulkan sajak-sajak baru Tardji sebagai sajak “saksi” juga tak beralasan mengingat “aksi” masih begitu kuat dalam Ngit, Sarang, Para Penyair, Nyungsang, dan Kami Tahu Asal Jadi Kau. Di sini Tardji merenda kata ke dalam perkawinan mantra dan doa.
 
Sutardji sudah tobat karena apa yang selama ini dicarinya hanya “sampai sebatas kami”, hanya “sampai ke puncak nurani”, hanya “sampai aku pada perpanjangan sajak-sajakku”.
 
Tak ada lagi bahana tanpa makna, karena dalam sajak–seperti diakui oleh Octavio Paz–bunyi tidak lain dari gema pengertian itu sendiri. Maka biarkan saja Tardji menggertak dengan histeria bercampur perih: “Cepat temukan kata! sebelum cuaca makin memburuk sebelum datang lagi El Nino sebelum datang La Nina agar tak kembali muncul El Dictator”.
 
“Yang tak menemukan kata tak disebut penyair” dalam kredo puisi 1973, atau “yang bukan penyair tidak ambil bagian” (Chairil), bergaung lagi. Gaung yang ditujukan pada penyair sendiri untuk segera menemukan kata dan ucapan, karena selain yang tak menemukan kata tak bakal dianggap penyair, ada kemungkinan bahaya baru akan muncul; realitas politik yang bisa membuat para penyair tak lagi bisa mencari kedalaman kata kecuali hanya memungut kata dari kamus-kehancuran.
 
Mengapa penyair mesti mencari kata dan menemukan ucapan? Karena profesi para penyair cenderung tidak mengerjakan apa yang dikatakannya, maka ada ruang bagi penyair untuk bisa tergoda untuk bebas tidak mempedulikan pertangungjawaban terhadap karya-karyanya, kata Sutardji dalam orasi budaya dalam rangka Pekan Presiden Penyair di Jakarta dua tahun lalu.
 
Sebagai seorang munsyi, Tardji sudah tentu pandai beranalogi, sekalipun terhadap sesuatu yang sering riskan untuk dianalogikan. Mirip seperti sikap para linguis aliran Bashrah di Semenanjung Arabia sana, yang menggunakan kias melalui bentuk-bentuk, makna-makna dan struktur-struktur bahasa yang baru–seperti yang dilakukan Abu Ali Al-Farisi yang dikenal sebagai bapak silogisme abad IV H dan dilanjutkan Adonis (penyair Suriah yang kini bermukim di Prancis).
 
Pencarian Tardji atas kata dan ucapan yang segar dan “baru” mengingatkan pencarian Adonis yang hendak memutus tali-rantai persajakan Arab-muslim. Namun ada yang berubah dalam sikap kepenyairan Tardji. Selama ini tak pernah terbayang jika Sutardji merayakan kelahiran kembali tragedi dengan sebuah keberpihakan: “aku telah melihat/bibit api dalam buah airmata/pada lahan yang digusur/dari pemiliknya” (Cari). Sebab “asal haus itu air, keringkan dahagamu/asal demam itu obat, karibkan sakitmu” (Asal).
***
 
Bila sajak puitik Sutardji bias disebut anak panah psikologis kemabukan, maka lawannya adalah sajak prosaik dengan anak panah kediamdirian yang diwakili Iswadi dan Nirwan. Kedua penyair ini tak kalah gawatnya dalam membuat sensasi.
 
Lewat proses penggabungan dua sajak menjadi satu judul, Jantung dan Lebah Ratu, Nirwan telah menegaskan kembali kebebasan seorang penyair. Apakah arti jantung dan apa hubungannya dengan lebah ratu dan bagaimana wujudnya, begitu samar.
 
Sementara Iswadi enggan mencipta sensasi, kendati judul Gema Secuil Batu yang diambil dari salah satu sajaknya, tak kalah nyentrik dan membingungkan para pengkhotbah “bahasa Indonesia yang baik dan benar”. Kita tak tahu apa makna gema secuil batu, apa memang secuil batu bisa bergema, macam mana gemanya.
 
Mungkinkah ketiga penyair ini telah memetik buah psikoanalisis seperti yang pernah diramalkan Hasif Amini beberapa tahun lalu, bahwa kaum surealis akan terus ada dan senantiasa berambisi menggali khazanah terpendam di alam bawah sadar, melalui penulisan otomatis; “suatu cara penulisan yang membiarkan pelbagai imaji dari bawah sadar muncul bebas tanpa kendali nalar dan tata bahasa”.
 
Maka seturut dengan ini, Iswadi mesti saya keluarkan di sini, sementara Nirwan dan Sutardji tengah mencari pertemuan-pertemuan tak terduga antarkata yang membentuk kiasan baru yang segar, juga mencengangkan. Seperti Breton yang meminjam teori imaji Pierre Reverdy, penyair Prancis yang percaya bahwa “semakin jauh dan jitu hubungan antara dua ranah kenyataan yang dijajarkan, semakin kuatlah imaji”, kata Hasif Amini.
 
Tatkala berhadapan dengan puisi Nirwan dan Sutardji, saya selalu mawas diri karena kedua penyair ini justru berkarya di bawah petuah licentia poetica yang keras kepala. Bahwa ada hak mutlak penyair untuk menggunakan bahasa sebebas-bebasnya, ya. Termasuk hak menyimpang-nyungsang dari tata pembentukan kata/kalimat yang sudah lazim.
 
Keduanya bukan mualaf, tapi mungkin munsyi. Keduanya sengaja melakukan penyimpangan dengan maksud tertentu, yang kita sendiri tahu sejak dulu.
 
Sementara Iswadi mengajak kita masuk ke dalam kesunyian diri sebagai kelahiran kembali. Mungkin karena “kita berasal dari sunyi, dan kepada sunyi kita kembali” (seperti kata Octavio Paz), maka Iswadi menerima apa saja yang wajar di dekat ambangnya. Mungkin karena selama ini ia lupa, atau tak pernah terkesima akan hal yang sesungguhnya dahsyat tapi tersapih; seperti warna kabut, sepasang mata burung hantu yang seperti merjan jernih, sayap-sayap yang serbasanggup. “Kini aku takjub pada bangkai kupu, sengat batu pada tuba, jelaga, atau serpih duri yang merumpun di halaman itu”, tulisnya dalam Fragmen-fragmen di Beranda.
 
Daun kaktus, pohon camar, hujan dan debu yang beradu, sunyi yang ratusan kali persiran di halaman buku, adalah sebuah percakapan yang sah untuk puisi sejak Goenawan sampai Iswadi.
 
Walau sebagian besar puisi Iswadi buat yang remeh-temeh itu, namun Iswadi masih saja merasa tak pernah ambil bagian dalam hal-ikhwal yang kecil itu. Ada yang salah, agaknya. Tapi kau benar ketika mengatakan: “betapa nikmat hati yang tak bisa pasti”.
***

http://sastra-indonesia.com/2009/04/catatan-puisi-indonesia-2008/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

A Anzieb A. Khoirul Anam A. Muhaimin Iskandar A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Rodhi Murtadho A.H. J Khuzaini A.S Laksana Aa Sudirman Abdul Kirno Tanda Abdurrahman Wahid Acep Iwan Saidi Achiar M Permana Addi Mawahibun Idhom Adhi Pandoyo Adi W. Gunawan Afrion Afriza Hanifa Afrizal Malna Agama Para Bajingan Aguk Irawan MN Agung Poku Agus Buchori Agus Mulyadi Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Setiawan Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wahyudi Agusri Junaidi AH J Khuzaini Ahmad Baso Ahmad Dahri Ahmad Farid Yahya Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Munjin Ahmad Naufel Ahmad Rifa’i Rif’an Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadul Faqih Mahfudz Ahmadun Yosi Herfanda Akhlis Purnomo Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akhudiat Albert Camus Alfathri Adlin Alfian Dippahatang Ali Audah Alim Bakhtiar Alimuddin Amelia Rachman Amie Williams Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin An. Ismanto Andhi Setyo Wibowo Andik Suprihartono Andri Awan Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Antologi Sastra Lamongan Anton Wahyudi Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia Arafat Nur Ari Welianto Arief Rachman Hakim Arif Hidayat Arif Saifudin Yudistira Arman A.Z. Arsyad Indradi Arti Bumi Intaran Asarpin Asep Dudinov Ar Atafras Awalludin GD Mualif Ayu Nuzul Bahrum Rangkuti Beni Setia Benni Setiawan Benny Benke Berita Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bonardo Maulana Wahono Bre Redana Budi Darma Budiman Hakim Buku Bung Hatta Bustan Basir Maras Butet Kertaredjasa Candrakirana Capres Cawapres 2019 Catatan Cerpen Chairil Anwar CNN Indonesia Coronavirus COVID-19 Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahlan Iskan Dahlan Kong Damiri Mahmud Danarto Daniel Dhakidae Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewi Satika Dian R. Basuki Dian Sukarno Dian Tri Lestari Dien Makmur Din Saja Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Diponegoro Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Doddy Hidayatullah Dodit Setiawan Santoso Dody Yan Masfa Donny Anggoro Donny Darmawan Doris Lessing Dr. Hilma Rosyida Ahmad Dwi Pranoto Dyah Ayu Fitriana Edisi Khusus Edy A Effendi Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendri Saiful Eko Prasetyo Eko Tunas Ekwan Wiratno el-Ha Abdillah Enny Arrow Erdogan Esai Esthi Maharani Estiana Arifin Evi Melyati F. Budi Hardiman F. Rahardi Fahmi Faqih Fahri Salam Faisal Kamandobat Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Feby Indirani Felix K. Nesi Festival Gugur Gunung Forum Santri Nasional Frischa Aswarini Fuad Mardhatillah UY Tiba Fuad Nawawi Galeri Sonobudoyo Galuh Tulus Utama Gampang Prawoto Geger Riyanto Geguritan Goenawan Mohammad Gola Gong Grathia Pitaloka Gugun el-Guyanie Gus Ahmad Syauqi Gus Dur Gusti Eka Habib Syech bin Abdul Qodir Assegaf Halim HD Hamdy Salad Hamid Jabbar Hamka Hamzah al-Fansuri Hari Puisi Indonesia (HPI) Harris Maulana Hasan Basri Hasnan Bachtiar Herry Fitriadi Herta Muller Heru Kurniawan Hesti Sartika Hilmi Abedillah Hudan Hidayat IAI TABAH Ibnu Wahyudi Idrus Efendi Ignas Kleden Iis Narahmalia Imam Jazuli Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Inung As Irfan Afifi Irwan Kelana Isbedy Stiawan Z.S. Iwan Simatupang Jafar Fakhrurozi Jajang R Kawentar Jalaluddin Rakhmat Jawa dan Islam JJ. Kusni Jo Batara Surya Joni Ariadinata Jordaidan Rizsyah Jual Buku Paket Hemat Jurnalisme Sastra K.H. Ma'ruf Amin Kadek Suartaya Kadjie MM Kalis Mardiasih Kanti W. Janis Karang Taruna Kedungrejo Katrin Bandel Kedai Kopi Sastra Kedung Darma Romansha Kedungrejo Muncar Banyuwangi Kemah Budaya Panturan (KBP) Kembulan KetemuBuku Jombang KH. M. Najib Muhammad KH. Muhammad Amin (1910-1949) Khairul Mufid Jr Khawas Auskarni Ki Ompong Sudarsono Kitab Arbain Nawawi Kitab Kelamin Kompas TV Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Buana Kasih Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Perupa Lamongan (KOSPELA) Komunitas Sastra dan Teater Lamongan Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Komunitas Selapan Sastra Kopi Bubuk Mbok Djum Kostela KPRI IKMAL Lamongan Kritik Sastra Kumpulan Cerita Buntak Kuswaidi Syafi’ie L Ridwan Muljosudarmo L.K. Ara Lagu Laksmi Shitaresmi Lan Fang Launching Buku Launching dan Bedah Buku Lawi Ibung Linda S Priyatna Literasi Liza Wahyuninto Lona Olavia Lukisan Lukman Santoso Az M. Faizi M. Lutfi M. Raudah Jambak M.D. Atmaja Maduretna Menali Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maimun Zubair Maiyah Banyuwangi Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Manneke Budiman Maratushsholihah Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Mariana Sitohang Mario Vargas Llosa Marsel Robot Mas Garendi Mashuri Massayu Masuki M. Astro Max Arifin Media Seputar Indonesia Mei Anjar Wintolo Melukis Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggalang Dana Amal MG. Sungatno Mianto Nugroho Agung Mien Uno Miftachur Rozak Mihar Harahap Mochtar Lubis Moh. Husen Moh. Jauhar al-Hakimi Moh. Syafari Firdaus Mohamad Sobary Mohammad Rokib Mohammad Wildan Motinggo Busye Muafiqul Khalid MD Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Alfatih Suryadilaga Muhammad Alimudin Muhammad Anta Kusuma Muhammad Marzuki Muhammad Muhibbuddin Muhammad N. Hassan Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammad Yunus Muhidin M. Dahlan Mukhsin Amar Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Munawir Aziz Mutia Sukma N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Ndix Endik Nenden Lilis A Nezar Patria Ni Made Purnama Sari Ninin Damayanti NKRI Nur Taufik Nurel Javissyarqi Nurul Komariyah Obrolan Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Orhan Pamuk Pagelaran Musim Tandur Palestina Palupi Panca Astuti Pameran Lukisan Parimono V / 40 Plandi Jombang Pawon Seni PDS H.B. Jassin Pekan Literasi Lamongan Pelukis Tarmuzie Pendhapa Art Space Pendidikan Penerbit Pelangi Sastra Pengajian Pipiet Senja Politik Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang Pramoedya Ananta Toer Presiden Jokowi Proses Kreatif Puisi Puisi Menolak Korupsi (PMK) Pungkit Wijaya Pusat Studi Budaya Banyuwangi (PSBB) Pustaka LaBRAK Putu Fajar Arcana R Giryadi R. Ng. Ronggowarsito Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rakai Lukman Rakhmat Nur Hakim Rani R. Moediarta Raudal Tanjung Banua Raudlotul Immaroh Reiny Dwinanda Remy Syaldo Remy Sylado Rendy Adrikni Sadikin Resensi Reuni dan Halal Bihalal Mts Putra-Putri Simo 1991-1992 Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Galuh Riki Antoni Riki Dhamparan Putra Rimbun Natamarga Rinto Andriono Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Romel Masykuri Nur Arifin Ronny Agustinus Rosi Rosihan Anwar Rosmawaty Harahap Roy Kusuma Rumah Budaya Pantura (RBP) Rx King Motor S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sainul Hermawan Sajak Salman Faris Sandiaga Uno Sanggar Lukis Alam Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang Sanusi Pane Sapardi Djoko Damono Saripuddin Lubis Sasti Gotama Saut Situmorang Saya Sayyid Muhammad Hadi Assegaf Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSAstra Boenga Ketjil Seni Gumira Ajidarma Seni Rupa Seno Joko Suyono Setia Budhi Shiny.ane el’poesya Shofa As-Syadzili Sholihul Huda Shulhan Hadi Sihar Ramses Simatupang Siti Aisyatul Adawiyah Siwi Dwi Saputro Soediro Satoto Soeparno S. Adhy Soesilo Toer Soetanto Soepiadhy Sofyan RH. Zaid Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad STKIP PGRI Ponorogo Subagio Sastrowardoyo Suminto A. Sayuti Sunardian Wirodono Sunlie Thomas Alexander Sunoto Sunu Wasono Sunudyantoro Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syahrudin Attar Syaifuddin Gani Syaikh Prof. Dr. dr. Yusri Abdul Jabbar al-Hasani Asyadzili Syaikh Yusri al-Hasani Al Azhari Taman Ismail Marzuki Taufiq Wr. Hidayat Teater Ilat Teguh Afandi Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Tere Liye Toko Buku PUstaka puJAngga Lamongan Tri Wahono TS Pinang Tsani Fanie Tulus S Udo Z. Karzi Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Jember Untung Wahyudi Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Virdika Rizky Utama W.S. Rendra Wage Daksinarga Wahyu Aji Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Widie Nurmahmudy Yanuar Widodo Yanusa Nugroho Yerusalem Yetti A. KA Yohanes Padmo Adi Nugroho Yohanes Sehandi Yoks Kalachakra Yonathan Rahardjo Yuditeha Yusri Fajar Yuval Noah Harari Zainal Arifin Thoha Zehan Zareez Zuhdi Swt Zulfikar Akbar